Demokrasi Indonesia Terancam?
Banyak pihak mengatakan bahwa demokrasi Indonesia, yang diperjuangkan dengan gigih selama Era Reformasi (1998), saat ini menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sejumlah peristiwa dijadikan sebagai indikatornya, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Perkara No.: 90, yang memudahkan jalur bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi yang menjabat, untuk menjadi calon wakil presiden, mendampingi Prabowo Subianto. Hal ini terjadi meskipun berdasarkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor: 07 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ia belum memenuhi kriteria usia minimum.
Keputusan ini tidak hanya memunculkan pertanyaan serius mengenai independensi lembaga peradilan, tetapi juga menandai titik kritis dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Selain berpotensi merusak isi dan semangat konstitusi, peristiwa hukum tersebut dinarasikan, baik oleh pakar hukum tata negara maupun pakar politik, sebagai awal dari era regresi demokrasi di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini, menyusul India dan Amerika Serikat. Sementara itu, perjuangan untuk mengembangkan demokrasi telah memakan tenaga, darah, dan air mata dari berbagai elemen bangsa, saat menumbangkan rezim otoriter mantan Presiden Soeharto.
Buku "How Democracies Die" (Steven Levitsky) menyoroti bagaimana demokrasi dapat terkikis dari dalam oleh pemimpin yang memanipulasi institusi demi keuntungan politik mereka. Indonesia, dalam hal ini, tampaknya mengikuti trayektori yang digambarkan oleh Levitsky. Dukungan terbuka Presiden Jokowi kepada pasangan Prabowo Subianto dan Gibran, serta tuduhan penggunaan infrastruktur kekuasaan untuk kepentingan politik pemenangan kontestasi politik 2024, perlu mendapatkan sorotan kritis. Hal ini agar pemilihan presiden berlangsung secara jujur, adil, bebas dari intimidasi, dan transparan, di bawah pengawasan Bawaslu dan lembaga terkait, termasuk organisasi masyarakat sipil, yang prihatin atas dugaan pelanggaran dalam proses kontestasi politik tersebut.
Sejarawan Yunani kuno, Thucydides, dalam karyanya "The Peloponnesian War," menggambarkan pentingnya keterlibatan warga sipil dalam mengawal demokrasi. Dalam konteks ini, regresi demokrasi di Indonesia seharusnya menjadi perhatian serius. Kebebasan berpendapat tidak boleh terancam, apalagi merasakan "sesaknya" diskusi di ruang publik.
Selain itu, Indonesia juga dihadapkan pada situasi ekonomi yang semakin berat, sementara masyarakat terus dibuai dengan pemberian bantuan sosial berupa uang tunai dan bahan makanan. Banyak pihak telah memperingatkan agar bantuan sosial tidak disalahgunakan untuk kepentingan pasangan calon tertentu. Belum lagi praktik korupsi yang semakin parah, diikuti dengan penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang diberikan oleh lembaga pemantau independen internasional.
Praktik-praktik tersebut di atas telah dan dipastikan akan mendapat respons dari masyarakat sipil, dengan tujuan menyelamatkan perjalanan Reformasi 1998, agar Indonesia benar-benar dapat mencapai masa keemasannya saat republik ini mencapai usia 100 tahun pada tahun 2045.
Menanggapi hal-hal tersebut, Moya Institute, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada isu-isu strategis, merencanakan mengadakan diskusi terbuka dalam bentuk webinar nasional, dengan menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka pada:
Kamis, 18 Januari 2024, Pukul 16.00-18.00 WIB.
Narasumber:
Prof. Dr. Abdul Mu'ti (Sekretaris Umum Muhammadiyah)
Hendardi, SH. (Pakar Hukum Senior)
Prof. Dubes Dr Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D. (Mantan Dubes RI untuk Tunisia/Ilmuwan Politik)
Penanggap:
Sirojuddin Abbas, Ph.D. (Peneliti Senior SMRC)
Pemantik Diskusi:
Hery Sucipto (Direktur Eksekutif Moya Institute)
Moderator:
Tasya Syarief (Presenter RTV) …...more
...more
Show less