Nasib Petani Sebagai Pahlawan Pangan

(Ilustrasi nasib petani Indonesia: asmorojiwo.blogspot.com)

Nasib petani Indonesia masih terbilang mayoritas sengsara. Padahal petani memiliki peran besar sebagai penentu nasib suatu bangsa. Kebutuhan primer manusia adalah pangan, sandang, papan. Manusia tanpa sandang (pakaian) dan tanpa papan (rumah) bisa hidup, asalkan tersedia pangan (makanan). Namun, tanpa pangan, manusia tidak bisa hidup, meskipun sandang dan papan terpenuhi. Petani menjadi pahlawan pangan, namun kehidupan mereka masih jauh dari kata “makmur”.

Kondisi petani saat ini bukan perkara yang faktor penyebabnya tidak bisa dianalisa. Beberapa faktor yang perlu dikaji terkait rendahnya tingkat kemakmuran petani antara lain, faktor tenaga kerja atau pelaku pertanian. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimuat dalam beberapa media online seperti CNN, di ungkapkan bahwa jumlah petani mengalami penurunan pada periode 2013 – 2015. Dimana pada tahun 2013 terdapat 39,22 juta jiwa yang bergerak dalam lingkup usaha tani, sedangkan tahun 2014 menjadi 38,97 jiwa, dan 2015 menjadi 37, 75 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang terlibat dalam usaha tani mengalami penurunan sebesar 1,47 juta jiwa dalam kurun waktu dua tahun.

Sementara itu, detik.com juga merujuk data BPS selama 10 tahun, mulai 2003 sampai 2013. Hasil yang didapatkan yakni adanya penurunan tren pertanian terutama di Jawa. Penurunan per tahun sekitar 1,75%. Di beberapa daerah seperti Papua mengalami kenaikan jumlah usaha tani. Namun, jika dikalkulasi secara keseluruhan, jumlah penurunan usaha tani lebih besar dibanding kenaikannya.

Terdapat beberapa penyebab yang menjadi bayang-bayang menurunnya pelaku usaha tani. Masalah terbesar terletak pada pemerintah. Upaya pemerintah dalam mengatur regulasi bidang pertanian masih setengah-setengah. Sebagai contoh, munculnya permasalahan distribusi pupuk subsidi. Bisa-bisanya kebutuhan pupuk tersendat-sendat. Padahal bagi petani, kebutuhan pupuk merupakan kebutuhan primer petani terlebih saat ini petani masih ketergantungan dengan pupuk kimia sintetis.

Belum lagi adanya masalah perubahan cuaca. Petani belum dibekali dengan pengetahuan membaca prakiraan cuaca dan menentukan jenis tanaman yang sesuai dengan cuaca saat itu. Harusnya pemerintah bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan memberikan pendampingan pada petani untuk mempelajari prakiraan cuaca beberapa bulan ke depan melalui data BMKG, sehingga bisa menanam jenis tanaman yang cocok dengan cuaca tersebut. Petani masih menggunakan cara lama yakni dengan menggunakan prinsip “biasanya” bulan ini tanam apa. Di era sekarang yang sudah terkontaminasi dengan pemanasan global, cuaca sangat berbeda dengan puluhan tahun lalu.

Pemerintah pusat maupun daerah belum memiliki pemetaan produk pertanian yang baik. Setiap daerah yang memiliki potensi pertanian, harusnya didata jenis tanaman yang cocok, berapa kapasitas produksi minimal dan maksimalnya, bagaimana kondisi sarana pertaniaannya, berapa jumlah petani dengan lahan luas, sedang, dan gurem. Ada berapa jumlah produsen, pengolah, pedagang produk pertanian. Berapa kebutuhan masyarakat akan hasil pertanian. Dan masih banyak lagi data yang harus di garap. Dengan adanya data dari tiap-tiap daerah, maka dapat diatur kapasitas produk pertanian sesuai kebutuhan masyarakat. Tidak seperti saat ini, yang masih semrawut sehingga fluktuasi harga pangan sangat drastis naik turunnya. Adakalanya, harga pangan rendah/tinggi dalam waktu yang lama. Hal tersebut merupakan  bukti bahwa setiap daerah belum memiliki pendataan yang baik mengenai pertanian, sehingga tidak bisa membuat harga pangan selalu stabil dan berpengaruh pada nasib petani.

Baca juga: Pertanian Konvensional Perlu Sertifikat

Minimnya data tentang pertanian juga bisa dilihat dari minimnya langkah preventif (pencegahan) pemerintah dalam menghadapi lonjakan/ penurunan harga yang drastis. Kebijakan yang sering diambil lebih banyak yang berhubungan dengan kuratif (mengurangi). Jika ada permasalahan harga baru membuat kebijakan.

Pemerintah perlu “menyekolahkan” petani agar praktik yang dilakukan di lapangan dapat dilengkapi dengan kemampuan analisis masalah. Menyekolahkan dalam hal ini bisa melalui pelatihan, workshop, kursus singkat, atau bahkan studi banding ke beberapa negara yang sudah menggunakan teknologi pertanian modern.

Era digital seperti saat ini sudah semestinya menjadi program pemerintah yang perlu diaplikasikan di bidang pertanian. Misalnya pembuatan e-commerce, dimana semua petani bisa memajang hasil pertanian dan olehannya, serta sarana prasarana pertanian di toko digital tersebut. Hal ini dapat memotong rantai tengkulak yang panjang. Aplikasi digital lain yang perlu digagas adalah pembuatan media sosial petani yang berfungsi sebagai forum tanya jawab masalah pertanian. Aplikasi tersebut harus dipantau langsung oleh pemerintah melalui dinas pertanian. Masih banyak aplikasi digital lain yang perlu digagas pemerintah di bidang pertanian.

Jika dianalisa lebih jauh, memang tidak sepenuhnya kesalahan terletak pada pemerintah. Banyak pihak yang terlibat dalam pertanian, termasuk juga petani sendiri sering melakukan kesalahan sehingga membuat susah mereka sendiri. Sebagai contoh saja sikap petani yang kolot dengan ilmunya sendiri tanpa mau belajar lagi mengikuti perkembangan IPTEK. Mental petani yang kolot tersebut merupakan penghambat usaha pemerintah dalam memperbaiki nasib petani.