Published using Google Docs
Sudah Indonesial, Jangan Indonesia-sia!
Updated automatically every 5 minutes

Sudah Indonesial, Jangan Indonesia-sia!

Oleh: Surya Darma Hamonangan Dalimunthe

Dalam kacamata duniawi, tahun lalu negara Indonesia dapat dikatakan mengalami sial karena kematian massal ratusan rakyatnya yang menyelenggarakan atau terlibat pemilihan para pemimpinnya. Kalaupun alasan kematian adalah normal, yaitu kelelahan dan sepertinya, pertanyaan yang tersisa adalah, kenapa tidak ada antisipasi? Effendi Ghazali, dalam kolomnya di Detik berjudul ‘Pemilu dan Penghancuran Peradaban’ (6 Mei 2019), menulis:

“Namun cobalah kita renungkan pelan-pelan. KPU melakukan simulasi pemilu serentak di lebih dari 300 TPS. Simulasi itu adalah upaya ilmiah dengan metodologi ilmiah untuk membuat suasana simulasi mendekati atau persis kejadian sesungguhnya pada pemilu 17 April 2019. Dan aneh bin ajaib, KPU seperti tidak melaporkan gejala kelelahan akut yang sampai mengakibatkan kematian pada anggota KPPS dalam simulasi di 300 TPS! Jika simulasinya benar dengan ilmu dan metodologi ilmiah yang benar, maka sebagai antisipasi bisa disiapkan - misalnya - satu unit tenaga medis untuk sepuluh TPS.”

Tahun ini, negara Indonesia lagi-lagi mengalami sial dengan kematian ratusan rakyatnya, kali ini karena wabah corona (COVID-19). Sekali lagi, antisipasi gagal atau terlambat dilakukan. Jumlah yang meninggal terus bertambah, baru-baru ini bahkan menyertakan seorang teman petinggi partai politik di Medan. Betapa berdukanya anggota-anggota keluarga dan handai taulan dari para korban yang meninggal.

Muntasir Zaman, seorang ulama pakar hadis yang terafiliasi dengan ‘Yaqeen Institute for Islamic Research’, menyatakan dalam tulisannya berjudul ‘Musings on COVID-19 and Martyrdom’, bahwa seseorang yang meninggal karena wabah corona dapat dikatakan mati syahid, walaupun mungkin pada tingkat kesyahidan yang terendah. Di akhir tulisannya, Zaman mengutip hadis hasan dari Ali bin Abi Thalib (r.a/k.w), “Setiap bentuk kematian yang dialami seorang Muslim akan memberinya status syahid. Namun, derajat kesyahidan berbeda-beda.” (Ibn ʿAbd al-Barr, al-Tamhīd, 19:209 dan Ibn Ḥajar, Fatḥ al-Bārī, 6:44).

Lebih lanjut, seorang Muslim dituntut untuk berusaha atau berikhtiar, sebelum berdoa, lalu kemudian bertawakkal. Secara berkelompok, telah dinyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa, "...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..." (ar-Ra'd: 11).

Berdasarkan perkembangan teoritis dan praktis di seluruh dunia, salah satu usaha atau perubahan terpenting yang wajib dilakukan bangsa Indonesia sekarang adalah terkait pemahaman dan kebijakan politik-ekonomi terkait penanggulangan wabah corona, sekaligus pelaksanaan cita-cita kemerdekaan dan amanat konstitusi.

Salah satu alasan utama ketiadaan atau terlambatnya antisipasi wabah corona di Indonesia yang diutarakan berbagai pihak adalah ketiadaan atau kekurangan uang yang dimiliki pemerintah Indonesia. Dikatakan bahwa pemerintah harus berutang dari dalam dan bahkan luar negeri jika ingin mendapatkan uang yang mencukupi untuk menyelamatkan rakyat Indonesia tanpa mengorbankan perekonomiannya.

Jelas, dengan berbagai kebijakan fiskal dan moneter di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, alasan ketiadaan atau kekurangan uang ini adalah bohong. Kebohongan yang lebih dulu harus diberantas adalah negara membutuhkan pajak untuk mendanai program-programnya. Pajak memang dibutuhkan negara, tapi bukan sebagai sumber dana. Pengantar terhadap fungsi pajak yang sebenarnya dapat dilihat dalam ‘Dasar-dasar Moneter Modern’ (tiny.cc/monetermodern), terjemahan dari situs Geoff Coventry, seorang miliuner yang menuangkan ide-idenya di media digital komersial pertama pemenang Pulitzer di Amerika Serikat, HuffPost.

Kalau benar negara membutuhkan pajak terlebih dulu sebelum menjalankan program-programnya, bagaimana bisa Amerika Serikat mengalokasikan langsung 2 triliun dolar sebagai stimulus perekonomiannya? Di Indonesia sendiri, jumlah stimulus direncanakan sekitar 405 triliun rupiah (sekarang sekitar 25 miliar dolar, ingat bahwa 1 triliun adalah 1000 miliar dolar). Apakah Amerika Serikat dan Indonesia sudah mengumpulkan pajak sejumlah yang disebut sehingga bisa digunakan sebagai stimulus? Jelas tidak!

Lalu, untuk Indonesia, dikatakan bahwa sumber uang bisa didapatkan dari penghematan sebesar 190 triliun rupiah dan realokasi anggaran sekitar 55 triliun rupiah (okezone.com, 31 Maret 2020). Jelas bahwa masih kurang 160 triliun rupiah lagi dari jumlah yang direncanakan. Dari mana mau didapatkan uang ini?

Jawaban konvensionalnya adalah dari utang. Dan memang jawaban konvensional inilah yang diberikan oleh hampir semua ekonom di Indonesia, baik pendukung atau pengkritik pemerintah.

Apakah Amerika Serikat juga berutang untuk mendapatkan uang stimulusnya yang sangat besar tersebut? Bahkan Donald Trump, presidennya sekarang, dikabarkan ingin mengalokasikan 2 triliun dolar lagi sebagai stimulus infrastruktur negaranya (CNBC, 31 Maret 2020).

Jawabannya adalah ya. Baik Indonesia dan Amerika Serikat bisa dikatakan sama-sama berutang untuk mendanai stimulus masing-masing. Namun, ada satu perbedaan yang sangat penting!

Amerika Serikat itu berutang dalam mata uangnya sendiri, yaitu dolar, sedangkan Indonesia belum tentu. Malah, kemungkinan besar, Indonesia akan berutang dalam mata uang asing, dolar, untuk menutupi kekurangan sumber dana stimulus.

Bedakan negara yang berutang dalam mata uangnya sendiri dengan yang tidak. Amerika Serikat dapat menghabiskan uang yang sangat banyak (2 hingga 4 triliun dolar, 80 hingga 160 kali lipat dari 25 milyar dolar stimulus Indonesia) sebagai anggaran penanggulangan wabah dan stimulus perekonomiannya.

Padahal, menurut ekonom Achmad Nur Hidayat dan Fadhil Hasan dalam artikel mereka di Harian Investor Daily (30 Maret 2020), Indonesia membutuhkan setidaknya 794 triliun sampai 1580 triliun rupiah (5 hingga 10 persen nilai Produk Domestik Bruto) sebagai stimulus agar Indonesia dapat mengatasi wabah corona sekaligus merangsang perekonomiannya. Hidayat dan Hasan menulis bahwa:

“Salah satu opsi sumber pendanaan terdekat adalah memperbesar defisit melalui penerbitan SUN baru (surat berharga negara pandemik corona) dan relaksasi aturan defisit maksimal 3%... Dalam mekanisme protokol ‘quantitative easing’ (QE), Bank Indonesia dapat membeli surat utang negara (SUN) dengan kupon 5% di pasar primer…”

Perlu dicatat bahwa penerbit SUN adalah Kementerian Keuangan. Sedangkan pembeli yang disarankan oleh Hidayat dan Hasan adalah Bank Indonesia. Dapat dilihat bahwa kedua-dua lembaga ini adalah bagian dari pemerintah Indonesia yang sama-sama diatur undang-undang.

Jadi, yang disarankan adalah pembelian SUN yang diterbitkan satu lembaga negara (Kementerian Keuangan) oleh satu lembaga negara lain (Bank Indonesia). Tentu mata uang yang menjadi denominasi SUN tersebut adalah rupiah.

Secara sederhana, begitulah protokol pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) yang seharusnya. Bank sentral sebuah negara membeli utang yang diterbitkan perbendaharaannya (Kementerian Keuangan dalam konteks Indonesia) dalam mata uang negara tersebut (rupiah dalam konteks Indonesia). Lebih lanjut, utang yang harus dibeli tidak terbatas kepada utang dari lembaga negara, bisa juga dari lembaga-lembaga swasta yang ada di negara tersebut.

Namun, syarat paling pokok adalah semua pembelian dan penjualan utang dilakukan dalam mata uang negara tersebut. Rupiah, dalam konteks Indonesia. Dolar, dalam konteks Amerika Serikat. Memang, dilaporkan pada 23 Maret 2020, Bank Sentralnya (Federal Reserve) telah menyatakan bersedia melakukan apa saja, termasuk membeli utang pemerintahnya dalam jumlah yang tidak terbatas, untuk mengatasi wabah corona di sana dan menyelamatkan perekonomiannya (CBS News, Federal Reserve vows "unlimited" stimulus to halt coronavirus recession; New York Times, Whatever It Takes: How the Fed Aims to Rescue the Economy).

Lalu mengapa Indonesia sangat pelit dalam stimulusnya dibandingkan Amerika Serikat? Apa yang menghalangi pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia untuk menciptakan uang sebanyak yang dibutuhkan agar rakyat selamat dan perekonomiannya pulih dengan cepat?

Sebelumnya, penghalang utamanya adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada penjelasan pasal 12, dinyatakan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini telah dicabut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menjadi landasan stimulus.

Dari mana kiranya batasan 3% ini didapatkan? Ternyata sumbernya adalah kriteria Maastricht yang menjadi syarat untuk mengadopsi mata uang euro dalam Pakta Stabilitas dan Pertumbuhan Uni Eropa. Pakta ini kononnya bertujuan untuk memastikan kestabilan harga dan pertanggungjawaban fiskal negara-negara di dalam Uni Eropa.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa Indonesia mengadopsi batasan defisit negara lain (contohnya Uni Eropa) tetapi tidak mengadopsi dorongan stimulus negara lain (contohnya Amerika Serikat) pula?

Ternyata, batasan defisit 3% ini merupakan bagian dari paradigma apa yang disebut ‘keuangan sehat’, di mana anggaran tahunan sebuah negara harus seimbang, yaitu selisih antara pendapatan dan pembelanjaan negara harus seminimal mungkin.

Di sinilah kekeliruan itu terjadi. Bagi individu atau institusi biasa, anggaran seimbang memang sangat dianjurkan. Bahkan kalau bisa, pendapatan harus lebih banyak dari pembelanjaan sehingga sisanya dapat ditabung untuk menghadapi masa depan.

Namun, negara bukanlah institusi biasa. Mudah sebenarnya. Dalam kasus Indonesia, semua pihak di dalamnya, termasuk negara, menggunakan mata uang yang sama dalam transaksi lazim mereka, yaitu rupiah. Dari manakah rupiah ini berasal? Apakah dari individu atau institusi biasa? Apakah dari orang kaya? Apakah dari pihak asing?


Jawabannya sederhana. Mata uang rupiah sejak pertama kali diterbitkan dan digunakan hanya bisa berasal dari pemerintah Indonesia, khususnya Bank Indonesia (yang merupakan bagian dari pemerintah Indonesia), lewat Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia atau Perum Peruri (juga merupakan bagian dari pemerintah Indonesia).

Dapat dilihat dalam kasus stimulus tahun ini bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia dapat menciptakan uang sebanyak yang dibutuhkan tanpa perlu mengutip pajak terlebih dahulu atau membatasi diri pada angka 3%. Lalu, apa yang menjadi dasar atau landasan kebutuhan penciptaan uang (rupiah dalam konteks Indonesia) sebenarnya?

Jawabannya adalah tujuan penciptaan negara Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain, pemerintah negara Indonesia dibentuk untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yang dapat ditemui secara jelas dalam konstitusi Indonesia, tepatnya pada Mukadimah Undang-undang Dasar tahun 1945 (UUD1945): melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Turunan dari cita-cita ini dapat ditemui dalam pasal-pasal UUD1945, yang mengandung hak dan kewajiban warga negara Indonesia sebagai pembentuk dan penentu para pemimpin dalam pemerintahan Indonesia, dalam konteks ini orang-orang yang ditentukan melalui pemilihan umum secara berkala.

Oleh itu, para pemimpin ini wajib melaksanakan konstitusi dalam semua aspek bernegara, termasuk penciptaan uang. Mereka wajib mencari pengetahuan yang dapat mewujudkan hak-hak warga negara dalam konstitusi ini.

Ternyata Indonesia memiliki sejarah seorang pemimpin yang berpengetahuan mengenai hal ini. Pada tahun 1960, ceramah Muhammad Hatta kepada para ahli ekonomi Indonesia, diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul ‘Ekonomi Terpimpin’. Dalam ceramah pertama, Hatta mendasarkan sebagian besar pendapatnya kepada Abba Lerner. Pada halaman 24, Hatta berkata:

“Menurut pendapat Lerner, ada tiga hal jang harus dilaksanakan  dengan  ekonomi  terpimpin.  Pertama, segala sumber  perekonomian  jang  ada  harus  dikerdjakan supaja segala orang memperoleh pekerdjaan. Kedua,  melaksanakan  pembagian  pendapatan  jang adil,  supaja  perbedaan  jang  besar  sekali  dalam pendapatan  dan  kekajaan  djadi  berkurang.  Ketiga, menghapuskan  monopoli  dalam  perekonomian,  jang adanja  sedjalan  dengan  exploitasi  jang  hebat dan dengan pemborosan  ekonomi.”

Lalu, pada halaman 27, Hatta berkata bahwa tujuan ekonomi terpimpin adalah untuk mewujudkan: “1. pekerdjaan  penuh,  sehingga  masjarakat  terlepas dari  pengangguran  jang  njata  dan  tersembunji. 2.  standar  hidup  jang  lebih  baik  senantiasa. 3. semangkin  berkurangnja  ketidak-samaan  eko­nomi,  dengan  djalan  memperata  kemakmuran. 4.  keadilan  sosial)”.

Jelas bahwa pekerjaan dan penghidupan merupakan tujuan utama dari gagasan Hatta. Kedua hal ini pula telah dirangkum dalam konstitusi pada pasal 27 ayat 2: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” .

Bayangkan jika sejak awal berdirinya Indonesia, uang rupiah diciptakan untuk mewujudkan hak warga negara ini. Jika setiap manusia Indonesia mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, katakanlah dalam program bernama ‘Jaminan Pekerjaan dan Penghidupan Indonesia’ (JAMPPI), hampir semua dari mereka pasti dapat menghadapi peluang dan tantangan apapun yang terjadi, termasuk pandemi saat ini.

Sekarang, adakah pengetahuan yang dapat mewujudkan hal ini? Ternyata ada, dan lagi-lagi pandangan Abba Lerner, yang merupakan inspirasi Hatta, digunakan. Terangkum dalam paradigma bernama ‘keuangan fungsional’, Edward J. Nell dan Mathew Forstater dalam buku berjudul ‘Reinventing functional finance: transformational growth and full employment’ (2003) menyatakan bahwa prinsip-prinsip keuangan fungsional mencakup:

“(1) Pemerintah harus melakukan intervensi dalam perekonomian nasional dan global; yang hakikatnya tidak dapat mengatur diri sendiri; (2) Tujuan utama perekonomian negara adalah mewujudkan kemakmuran; (3) Uang adalah ciptaan negara yang dapat dikendalikan negara; (4) Kebijakan fiskal harus diarahkan mengingat dampaknya terhadap perekonomian, dan anggaran harus dikelola dengan tepat - 'penyeimbangan  pendapatan dan pembelanjaan' tidak penting - yang penting adalah kemakmuran; (5) Jumlah dan laju pembelanjaan pemerintah harus ditetapkan berdasarkan tingkat kegiatan ekonomi yang diinginkan, dan pajak harus dikutip berdasarkan dampak terhadap perekonomian, bukan berdasarkan tujuan menghasilkan pendapatan; (6) Prinsip 'keuangan sehat' berlaku pada tingkat individu, rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah yang tidak berdaulat (seperti kota dan provinsi) tetapi tidak berlaku untuk pemerintah berdaulat (pada tingkat nasional) yang mampu menciptakan uang.”

Pengetahuan ‘keuangan fungsional’ inilah yang paling dekat dengan dan paling dapat mewujudkan amanat konstitusi. Oleh itu, ia harus dipelajari untuk kemudian dilaksanakan daripada pengetahuan lain.

Sekarang, untuk menghadapi pandemi, terbukti ia dapat dilaksanakan. Buktinya, pemerintah telah membatalkan batas defisit yang ada. Uang pun efektifnya diciptakan begitu saja, tidak menunggu pajak dikutip terlebih dahulu.

Penanggulangan pandemi pun hanya merupakan kondisi khusus dari penciptaan uang sebanyak yang dibutuhkan. Kondisi umumnya adalah pelaksanaan konstitusi, yang terutama dapat terwujud melalui JAMPPI. Kalau semua warga negara memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, apa pun dapat dihadapi. Para pendiri bangsa pun dapat tersenyum di alam barzakh, mengetahui bahwa hasil perjuangan mereka tidak menjadi Indonesia-sia!

Penulis adalah penggagas Jaminan Pekerjaan & Penghidupan Indonesia (JAMPPI).