SlideShare a Scribd company logo
1 of 98
Download to read offline
KONSESI
MENCAPLOK
SAWAH
FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI
	 	 	 Analisis Spasial dan Sosial Ekologis
                         Mengenai Kerawanan Pangan
di Masa Pandemi COVID-19
Menuju tegaknya
kedaulatan rakyat
atas ruang
KONSESI MENCAPLOK SAWAH
FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI
Analisis Spasial dan Sosial Ekologis
Mengenai Kerawanan Pangan
di Masa Pandemi COVID-19
jaringan kerja pemetaan partisipatif
KONSESI MENCAPLOK SAWAH, FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI
Analisis Spasial dan Sosial Ekologis mengenai Kerawanan Pangan di Masa Pandemi COVID-19
Penulis :
Rahmat Sulaiman
Dewi Sutejo
Laksmi Savitri
Amir Mahmud
M Husen
Imam Mas’ud
Dimas Novian Hartono
Muhammad Al Amien
Hairul Sobri
Kontributor :
SLPP Sumatera Selatan
SLPP Kalimantan Tengah
SLPP Sulawesi Selatan
Layout dan Sampul
Imam Mas’ud
Diterbitkan Oleh
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
Jl. Cimanuk Blok B7 No. 6 Komp. Bogor Baru Taman
Bogor 16152 INDONESIA
Telp/Fax : +62251 – 8379143
Alamat Surel
E-mail : seknas@jkpp.org
Akun Media Sosial
Page Facebook : /peta kampung
Twitter : @petakampung
Instagram : @seknas_jkpp
Website : www.jkpp.org
F
ood and Agriculture Organization (FAO)
menyatakan bahwa dunia akan mengalami
krisis pangan di akhir Agustus 2020 sebagai
dampak penyebaran COVID-19 yang belum
dapat dipastikan kapan akan berakhir. Kegagalan
pemerintah untuk menyediakan pangan akan
berdampak pada timbulnya kerawanan pangan,
yaitu kondisi di mana masyarakat tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam
periode waktu yang lama. Dengan situasi seperti
ini, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
mengkaji tiga provinsi yang terletak di pulau-
pulau besar, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah,
Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan untuk
melihat kondisi ketersedian pangan yang
dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras
setiap penduduk dengan pendekatan pasokan
dan permintaan (pasokan-permintaan) berbasis
data spasial. Dari analisis ini dapat dimunculkan
wilayah yang dianggap tidak mampu mencukupi
kebutuhan pangannya secara mandiri atau
bisa disebut sebagai defisit produksi pangan
terutama beras, sekaligus memeriksa sebaran
perizinan di lokasi yang dikaji dan laju konversi
lahan sawah. Kedua aspek terakhir diharapkan
dapat memberikan indikasi penyebab kerawanan
pangan dilihat dari alokasi ruang untuk lahan
pangan itu sendiri.
Kajian JKPP menunjukkan bahwa negeri ini
dalam dua dekade terakhir telah mengalami
kehilangan lahan sawah secara signifikan
di ketiga provinsi tersebut, yaitu seluas
409.790,57 hektare atau setara dengan kira-
kira 2.048.952,84 ton, atau hampir sama
dengan volume impor beras pada tahun 2018.
Akar persoalan dari kehilangan lahan sawah dan
produksi beras adalah perluasan konsesi dan izin
yang mencaplok persawahan. Di semua lokasi
kajian, total luas konsesi pada 2017 mencapai 12
% di Sulawesi Selatan, 32% di Sumatera Selatan
dan 47% di Kalimantan Tengah dari luasan total
wilayah administratif setiap provinsi.
Kajian JKPP juga menunjukkan bahwa di
semua provinsi yang dikaji selalu terdapat
wilayah yang defisit beras, meskipun bukan
merupakan wilayah perkotaan. Bahkan salah
satu provinsi, yaitu Kalimantan Tengah, dari 13
kabupaten, 9 kabupaten berada dalam kondisi
defisitpasokanberasnya.Kecenderungandefisit
beras ini berimplikasi pada tingkat pengeluaran
untuk pangan yang harus bertambah. Padahal
wilayah-wilayah defisit beras non-perkotaan
adalah wilayah-wilayah yang angka kemiskinan
rata-ratanya berada di bawah angka kemiskinan
provinsi. Kondisi kemiskinan diperparah oleh
kecilnya nilai tukar petani di semua provinsi
RINGKASAN
yang ditandai oleh penggureman atau semakin
sempitnya penguasaan luas lahan sawah oleh
petani.
Maka apabila perluasan cetak sawah baru
skala luas dikelola bukan oleh petani, dapat
dipastikan hal itu akan menjadi awal dari
kematian pertanian skala kecil dan hancurnya
penghidupan petani kecil. Penambahan luas
sawah melalui program-program cetak sawah
yang dianggap sebagai solusi, menurut berbagai
pengalaman dan kajian, telah melipatgandakan
masalah ke persoalan lingkungan dan sosial yang
rumit.Olehsebabitu,JKPPberpandanganbahwa:
1.	 Seharusnya pemerintah menjalankan
UU Keterbukaan Informasi Publik dan
memberikan hak kepada warga negara
untuk mendapatkan data dan informasi
yang sejelas-jelasnya atas segala kebijakan
yang bertujuan mengubah penguasaan
dan pemilikan tanah, serta mengubah
fungsi dan peruntukan lahan dan wilayah.
2.	 Seharusnya pemerintah nasional
merubah secara radikal pemberian hak
dan perizinan skala luas untuk usaha
perkebunan, pertanian, kehutanan dan
pertambangan dengan menjalankan
Reforma Agraria sejati, serta pengakuan
hak masyarakat adat atas wilayah adat.
Penambahan luas sawah
melalui program-program
cetak sawah yang dianggap
sebagai solusi, menurut
berbagai pengalaman
dan kajian, telah
melipatgandakan masalah
ke persoalan lingkungan
dan sosial yang rumit.
3.	 Alih-alih menyerahkan pertanian pangan
pada bisnis korporasi, pemerintah
seharusnya berorientasi pada pemenuhan
pangan berbasiskan pada kedaulatan
pangan dan kearifan lokal untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan
keberlanjutan alam dalam jangka panjang.
4.	 Dalam jangka waktu secepatnya, pemerintah
seharusnya melakukan diversifikasi pangan
dan mengembangkan pangan lokal yang
tersebar di berbagai belahan negeri di
Indonesia dan melakukan intensifikasi di
lahan-lahan yang cocok atau di lahan eks
Hak Guna Usaha (HGU)/ tanah terlantar
di tanah mineral yang tidak dikelola
oleh perusahaan untuk mengoptimalkan
produksi pangan dan melakukan mekanisasi
teknologi bagi petani, bukan di lahan gambut
yang terbukti produktivitasnya rendah
dan membutuhkan teknologi yang mahal.
5.	 Pemerintah segera melakukan pengakuan,
perlindungan dan identifikasi lokasi lahan
pertanian dan perladangan masyarakat
secaramenyeluruhyangsaatinimasihmasuk
ke dalam kawasan hutan, terancam dengan
adanya investasi, berapa luasannya, apa saja
jenis pangannya, berapa jumlah produksinya
serta juga melindungi benih-benih lokal
yang saat ini juga terancam akan punah.
Ringkasan - I
Pengantar - 1
Bab I Pendahuluan - 3
Bab II Metode Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data - 6
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar - 8
BAB III
Provinsi Sumatera Selatan 12
1 Pasokan-Permintaan Beras 12
2 Petani dan Lahan Pertanian 15
3 Tingkat Kesejahteraan 16
Provinsi Kalimantan Tengah 22
1 Pasokan-Permintaan Beras 22
2 Petani dan Lahan Pertanian 24
3 Tingkat Kesejahteraan 25
Provinsi Sulawesi Selatan 32
1 Pasokan-Permintaan Pangan 32
2 Petani dan Lahan Pertanian	 35
3 Tingkat Kesejahteraan 36
Konversi Lahan Pertanian, Tumpang-Tindih Konsesi
		 dan Kerawanan Pangan - 40
BAB IV
Provinsi Sumatera Selatan 41
1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 41
2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 44
Provinsi Kalimantan Tengah	 49
1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 49
2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 51
Provinsi Sulawesi Selatan 56
1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 56
2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 59
DAFTAR ISI
Kebijakan Fatal dari ‘Atas’ dan Praktik Baik dari ‘Bawah’ - 65
BAB V
1 Kebijakan Cetak Sawah sebagai Kebijakan Fatal 66
1.2 Kalimantan Tengah dan Kegagalan proyek Food Estate 66
1.3 Sumatera Selatan dan Kegagalan Cetak Sawah di Kabupaten OKI 68
2 Praktik Baik Masyarakat Menjaga Produksi Pangan	 70
2.1 Sonor Sebagai Praktik Baik Konservasi Nitrogen yang Terstigma 70
2.2 Menanam Padi Rawang dan Lumbung Bersama 71
2.3 Melawan Sawit dengan Jengkol 73
2.4 Kearifan Lokal Pengelolahan Danau Bangantung: Mewujudkan
Ketahanan Pangan di Sektor Perikanan
77
Menjawab Krisis Lahan Sawah dan Krisis Pangan
di Masa Pandemi - 83	
BAB VI
Daftar Rujukan - 87
1
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
I
ndonesia negeri yang kaya akan sumber
daya alam, baik di daratan maupun di
perairan, posisi Indonesia yang terletak di
wilayah tropis mendukung akan suburnya
tanah, sampai ada istilah apapun yang ditanam
akan tumbuh. Segala produksi pangan melimpah
di negeri ini, bagaikan surga dunia yang
menyimpan banyak berkah.
Sementara kondisi saat ini cukup ironis,
Kata
PengantarDeny Rahadian
           Koordinator Nasional JKPP
kekayaan alam,
kelimpahan sumber
daya alam dan pangan
tidak sesuai dengan
apa yang dirasakan
oleh masyarakat. Krisis
pangan kerap menjadi
kabar yang diterima,
meninggalnya seorang
ibu warga Kelurahan
Lontabaru, Serang
yang meninggal
karena kelaparan
akibat pandemi bulan
April lalu bukan
satu-satunya kasus
kelaparan di Indonesia
saat pandemi. Ada
yang salah dengan tata kelola pangan di negeri
ini. Amanat Undang-Undang No.19 Tahun 2012
hadir untuk mewujudkan kedaulatan pangan,
seharusnya Indonesia mampu meningkatkan
kemampuanproduksipanganmelaluipenyediaan
sarana produksi pertanian, biodiversitas komoditi
pangan dan pangan yang aman, bermutu serta
bergizi. Sarana produksi pertanian berarti
termasuk lahan pertanian bagi masyarakat petani,
aneka ragam komoditi
pangan artinya harus
mengakomodir komoditi
pangan lokal. Tetapi saat
ini yang terjadi adalah
ketimpangan penguasaan
ruang yang lebih
mengakomodir investasi
rakusruang,pertambangan,
perkebunan monokultur
dan proyek-proyek
infrastruktur lain yang
menggerus kebutuhan
sarana produksi
penyediaan pangan
petani. Pemerintah
mencanangkan kembali
food estate, dengan dalih
Kedaulatan pangan bisa
diwujudkan dengan
memperkuat petani yang
menghasilkan pangan
untuk kita semua dan bukan
membangun food estate
atau cetak sawah baru yang
dikelola oleh korporasi dan
terbukti gagal.
“
Deny Rahadian
Koordinator Nasional JKPP
2
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
penyediaan sarana produksi pertanian, program
cetak sawah dimana-mana untuk mengantisipasi
krisis pangan saat pandemi. Tapi kemudian
pertanyaanya apakah ini menjadi jawaban dalam
memastikan penyediaan pangan masyarakat?
Krisis COVID-19, telah menunjukkan bahwa
negara kita krisis antisipasi, gagap serta tidak
memiliki Contigency Plan dalam menghadapi
pandemi. Padahal menurut David A. Savage dan
Bennon Torgler (2020) manusia beda dengan
hewan, manusia bisa merasakan ancaman pada
masa depan kemudian mempersiapkan diri agar
bisa bertahan saat genting, setidaknya 14 hari
ke depan (sama dengan masa inkubasi corona).
Dampak COVID-19 juga menunjukkan
bahwa selama ini ketergantungan terhadap
impor pangan, dengan adanya pandemi ini
dimana lalu lintas dan perhubungan terputus
berdampak pada kesulitan dalam pemenuhan
kebutuhan pangan. Terutama bagi masyarakat
urban, tetapi bagi masyarakat di kampung-
kampung, pemenuhan pangan masih bisa
berjalan dan saling bantu antar komunitas.
Dampak pandemi ini seharusnya bisa menjadi
pelajaran bagi kita semua, pentingnya sabuk
pengaman yang disiapkan oleh penyelenggara
negara dalam menghadapi krisis pangan akibat
apapun. Pemerintah seharusnya memperkuat,
memperluas sarana produksi pangan bagi
petani kecil yang notabenenya terbukti lebih
bertahan dimasa pandemi. Kedaulatan pangan
bisa diwujudkan dengan memperkuat petani
yang menghasilkan pangan untuk kita semua
dan bukan membangun food estate atau cetak
sawah baru yang dikelola oleh korporasi dan
terbukti gagal.
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada
rekan-rekan SLPP yang sudah berkontribusi
dalam penyusunan Working Paper ini, juga
kepada tim penyelaras akhir, Mbak Laksmi A.
Savitri, Mas Amir Machmud, yang sabar dalam
menunggu pengumpulan, pengolahan data
hingga menemani dalam setiap diskusi yang
substansial. Semoga Working Paper ini dapat
berkontribusi dan bermanfaat bagi publik dan
para pemangku kepentingan.
“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia,
bukan untuk memenuhi keserakahan manusia
- Mahatma Gandhi -
3
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
P
ada Senin 2 Maret 2020, pemerintah untuk pertama kalinya mengkonfirmasi
datakasusCOVID-19. Hinggasaatlaporaniniditulisterdapatlebihdari63.749
penduduk Indonesia yang dinyatakan positif terinfeksi COVID-19, 29.105
jiwa dinyatakan sembuh dan 3.171 jiwa yang meninggal (data tertanggal
05 Juli 2020). Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk menangani
pandemi, salah satunya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), serta
kebijakan lain yang tujuannya untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Kondisi tersebut kemudian banyak memukul sektor sosio-ekonomi masyarakat
khususnya soal ketersediaan pangan. Food and Agriculture Organization (FAO)
menyatakan bahwa dunia akan mengalami krisis pangan di akhir Agustus 2020
sebagai dampak penyebaran COVID-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan
berakhir. Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan akan berdampak
pada timbulnya kerawanan pangan, yaitu kondisi dimana masyarakat tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode waktu yang lama. Walaupun
pada akhir Maret 2020 Presiden Jokowi pernah meminta kepada seluruh Badan
Usaha Milik Negara untuk membuka lahan-lahan baru khususnya di lahan basah
atau gambut yang akan digunakan untuk aktivitas produksi beras atau komoditas
pangan lainnya, akan tetapi rencana ini belum tentu dapat menjawab permasalahan
kebutuhan pangan. Bahkan, kemungkinan akan menimbulkan masalah baru seperti
yang pernah terjadi pada tahun 90an di era Presiden Suharto dengan program
pembukaan lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah.
Dengan situasi seperti ini, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mencoba
mengkaji di beberapa tempat seperti di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera
Selatan dan Sulawesi Selatan untuk melihat kondisi ketersediaan pangan yang
dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras setiap penduduk dengan
pendekatan pasokan dan permintaan (pasokan-permintaan) berbasis data spasial.
Dari analisis ini dapat dimunculkan wilayah yang dianggap tidak mampu mencukupi
kebutuhan pangannya secara mandiri atau bisa disebut sebagai defisit produksi
Pendahuluan
Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan
akan berdampak pada timbulnya kerawanan pangan,
yaitu kondisi dimana masyarakat tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode
waktu yang lama
“
Bab
Satu
4
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
pangan terutama beras, sekaligus memeriksa
sebaran perizinan di lokasi yang dikaji dan laju
konversi lahan sawah. Kedua aspek terakhir
diharapkan dapat memberikan indikasi
penyebab kerawanan pangan dilihat dari alokasi
ruang untuk lahan pangan itu sendiri.
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
memilih tiga provinsi (Kalimantan Tengah,
Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan) sebagai
lokasi kajian dengan pertimbangan bahwa:
1.	 Karakteristik lanskap di Provinsi Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah adalah lahan
gambut yang memiliki kekhasan secara
ekologis dan sosial telah menjadi sasaran
kebijakan pangan, baik pada saat ini maupun
di masa lalu.
a.	 Provinsi Kalimantan Tengah telah
ditunjuk menjadi salah satu lokasi
rencana untuk food estate. Sudah
dialokasikan sekitar 900,00 ha yang
bisa dimanfaatkan dengan 300,00 ha
diantaranya sudah bisa dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian dan 200,00
ha yang sudah dikuasai oleh BUMN.
Sementara itu, di provinsi Sumatera
Selatan pembukaan lahan gambut untuk
lokasi lahan pertanian telah dilakukan
pada 2018 dengan alokasi anggaran
sebesar Rp23.708.000.000 untuk cetak
sawah baru di Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI) seluas 900.000 ha, Ogan
Komering Ulu Timur (OKUT) seluas 300
ha dan Musi Banyuasin seluas 300 ha.
Proyek di OKI terbukti gagal dan muncul
isu korupsi. (TEMPO, edisi 4 September
2017)1
b.	 Menghadapi musim kemarau, Provinsi
Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan
merupakan lokasi yang rawan kebakaran
terutama di lahan gambut. Pengelolaan
sumber daya alam berbasis pengetahuan
lokal masyarakat diharapkan bisa menjadi
alternatif pencegahan Karhutla yang
lebih besar.
2.	 Peta Partisipatif yang dihasilkan diketiga
provinsi menunjukkan bahwa wilayah-
wilayah ini dibebani oleh banyak izin
penggunaan lahan, baik ke dalam kawasan
hutan maupun di luar kawasan hutan.
Luasan wilayah yang dipetakan secara
partisipatif di Kalimatan Tengah adalah
2.471.771,82 ha, tapi 367.546,75 ha
(14,86%) sudah dibebani izin. Sementara
itu, di Sulawesi Selatan luasan wilayah
yang dipetakan secara partisipatif seluas
947.354,71 ha, dan 279.885,03 ha (29,54%)
sudah dibebani izin. Di Sumatera Selatan
luasan wilayah yang dipetakan secara
partisipatif seluas 729.205,02 ha, dan
438.406,75 ha (60%) sudah dibebani izin.
Dengan demikian, ketiga lokasi ini dapat
memberikan gambaran tingkat kerawanan
pangan selaras dengan kondisi pemberian
izin penggunaan lahan yang berpotensi
mengancam keberadaan sawah. (Sumber:
Hasil Analisis Spasial JKPP)
3.	 Contoh-contoh pengelolaan lahan pangan
yang berkelanjutan berbasis masyarakat
sudah dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan
dan Provinsi Sumatera Selatan. Contoh-
contoh seperti ini diharapkan bisa menjadi
pengetahuan dan dapat diadopsi oleh
masyarakat/komunitas di tempat lain guna
menjaga keberlanjutan jaminan pangan.
Hasil dari kajian ini diharapkan bisa menjadi
bacaan untuk pertimbangan pemerintah
dalam menjawab isu kerawanan pangan di
masa pandemi. Kegagalan pemerintah dalam
memenuhi kebutuhan pangan akan memicu
krisis yang berkepanjangan. Pada sisi lainnya,
kebijakan pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan stok pangan khususnya beras saat
ini lebih bersifat parsial atau cenderung tambal
sulam. Kebijakan yang diharapkan seharusnya
mampu menciptakan kemandirian atas pangan
yang bertumpu pada terciptanya kedaulatan
pangan yang diawali dengan kedaulatan rakyat
atas ruang.
1
https://majalah.tempo.co/read/nasional/153930/ce-
tak-sawah-cetak-masalah, diakses 12 Juli 2020
5
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Kebijakan pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan stok pangan
khususnya beras saat ini lebih bersifat
parsial atau cenderung tambal sulam.
Kebijakan yang diharapkan seharusnya
mampu menciptakan kemandirian atas
pangan yang bertumpu pada terciptanya
kedaulatan pangan yang diawali dengan
kedaulatan rakyat atas ruang.
“
6
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
D
ata yang diolah dan dianalisis dalam laporan ini sebagian besar dikumpulkan dan bersumber
dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018. Selain dari BPS, sumber data juga
berasal dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) dengan tahun yang beragam (seperti 2008, 2019 dan 2020). Dari pelbagai dokumen
atau laporan resmi kementerian/lembaga itu data dan informasi yang diambil untuk kebutuhan
laporan kajian ini seputar sosial, ekonomi dan spasial pertanian terkait produksi, konsumsi pangan,
dan penggunaan lahan. Lokasi kajian berfokus pada tiga provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Kalimantan
Tengah dan Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi dipilih di luar Jawa sebagai lokasi yang mewakili tiga
pulau besar (Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi) yang dikenal menghasilkan
produksi pangan beras, dan ketersediaan data untuk diolah dan dianalisis.
Secara sederhana dari dokumen dan laporan yang dikumpulkan itu kemudian diambil dan disalin
data-datanya kedalam sebuah tabel untuk diolah menjadi informasi. Tabel berisi seputar angka
luas kabupaten/kota, jumlah penduduk, jumlah konsumsi beras per kapita/tahun, luas lahan tanam
pertanian padi, dan jumlah produksi padi. Tabel berisi angka yang tersedia itu selanjutnya dianalisis
berdasarkan Pasokan-Permintaan. Analisis Pasokan-Permintaan menghasilkan kategori Cukup, Defisit
dan Surplus. Kategori Cukup, Defisit dan Surplus diperoleh dari analisis sebagai berikut:
1.	 Konsumsi pangan padi berpatokan pada jumlah konsumsi per kapita/tahun (2018), yaitu: (1)
Sebesar 0,0933 ton (93,3 kg/kapita/tahun) di Sumatera Selatan; (2) Sebesar 0,0872 ton (87,2
kg/kapita/tahun) di Kalimantan Tengah; dan (3) Sebesar 0,1147 ton (114,7 kg/kapita/tahun) di
Sulawesi Selatan.
2.	 Untuk memperoleh tiga kategori, maka dibuat jarak angka tertinggi dan terbawah dalam tiap
kategori. Kategori cukup berdasarkan pada patokan konsumsi per kapita/tahun sebagai angka
terbawah, dan ditambah konsumsi per kapita untuk 3 bulan ke depan sebagai angka tertinggi.
Kategori defisit: angka di bawah patokan konsumsi per kapita/tahun sebagai angka tertinggi, dan
dikurangi konsumsi per kapita untuk 3 bulan sebagai angka terendah. Kategori surplus: angka di
atas angka tertinggi dalam kategori cukup sebagai angka terendah, dan ditambah konsumsi per
kapita untuk 2 x 3 bulan ke depan sebagai angka tertinggi. Tiga bulan berasal dari asumsi masa
tanam dan panen untuk menghasilkan padi.
Metode Pengumpulan, Pengolahan
dan Analisis Data
Bab
Dua
Analisis Pasokan-Permintaan dan hasilnya itu (kategori cukup,
defisit dan surplus) diperkaya dengan suatu alas dasar alokasi
penggunaan lahan dan dinamikanya (konversi lahan dan
ekstensifikasi lahan) dari data spasial, dan dilengkapi pula dengan
data yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi petani, dan tingkat
pengeluaran ekonomi penduduk (makanan dan non-makanan, dan
biaya produksi) termasuk kalori yang dikonsumsinya.
“
7
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
3.	 Jarak antar-kategori (cukup, defisit dan
surplus) sebagai berikut: (1) Sumatera
Selatan. Defisit = < 0,07 - 0,0932; Cukup =
0,0933 - 0,1166 dan Surplus = 0,1167 - 0,1399
keatas. (2) Kalimantan Tengah. Defisit = <
0,0654 - 0,0871; Cukup = 0,0872 - 0,1090;
dan Surplus = 0,1091 - 0,1308 ke atas. (3)
Sulawesi Selatan. Defisit = < 0,0860 - 0,1146;
Cukup = 0,1147 - 0,1434 dan Surplus = 0,1435
- 0,1721 ke atas.
Analisis Pasokan-Permintaan dan hasilnya itu
(kategori cukup, defisit dan surplus) diperkaya
dengan suatu alas dasar alokasi penggunaan
lahan dan dinamikanya (konversi lahan dan
ekstensifikasi lahan) dari data spasial, dan
dilengkapi pula dengan data yang menunjukkan
kondisi sosial ekonomi petani, dan tingkat
pengeluaran ekonomi penduduk (makanan dan
non-makanan, dan biaya produksi) termasuk
kalori yang dikonsumsinya. Semua data dan
informasi tersebut untuk menunjukkan kondisi
dan dinamika kemandirian pangan atau
kerawanan pangan.
Untuk keperluan laporan kajian ini, patokan
dan konversi yang digunakan sebagai berikut:
1.	 Konversi Gabah Kering Giling (GKG) menjadi
Beras sebesar 57,13%.
2.	 Konversi jenis padi-padian menjadi kalori
dan protein yaitu: (1) 1 kg Beras (beras
lokal, kualitas unggul, impor) mengandung
3.622,00 kilokalori (kkal) dan 84,75 gram
protein, (2) 1 kg Beras ketan mengandung
3.605,00 kkal dan 77,00 gram protein, (3) 1
kg Jagung basah dengan kulit mengandung
361,20 kkal dan 11,48 gram protein, (4) 1
kg Jagung pipilan/beras jagung/jagung titi
mengandung3.200,00kkal,dan82,80gram
protein, (5) 1 kg tepung terigu mengandung
3.330,00 kkal, dan 90,00 gram protein, dan
(6) 1 kg Padi-padian lainnya mengandung
3.570,00 kkal, dan 78,33 gram protein.
Data spasial yang diolah menggunakan
analisis tumpang tindih (overlay) dari berbagai
data spasial, di antaranya analisis tumpang tindih
land-use dengan berbagai perizinan konsesi.
Analisis tumpang tindih ini untuk melihat laju
konversi perubahan lahan pertanian (khususnya
padi sawah) dengan menggunakan analisis
tumpang tindih (overlay) Peta Ketersediaan
Lahan Untuk Pertanian (Kementerian Pertanian
2008) dengan Peta Penutupan Lahan (KLHK
2019).
Tahapan dalam pengumpulan data hingga
pengolahan data, yaitu: pertama, pengumpulan
data spasial terutama berasal dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. Kendala yang dihadapi
dalam pengumpulan data adalah kesulitan akses
data-data spasial dan minimnya ketersediaan
data-data spasial. Data spasial terkait peta
ketersediaan lahan untuk pertanian saja yang
terbaru tidak ada dalam portal resmi Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Pada
akhirnya, dalam kajian ini untuk melihat laju
konversi perubahan lahan pertanian (khususnya
padi sawah) melakukan overlay dengan
menggunakan sumber data lain, yakni data peta
penutupan lahan (KLHK 2019). Secara ideal,
data yang digunakan sebaiknya menggunakan
sumber data yang sama untuk analisis ini.
Namun kendala ketersediaan data dan kesulitan
mengakses data yang relevan dan penting, maka
analisis ini menggunakan data yang tersedia dan
bisa diakses.
Kedua, mendigitasi peta-peta tersebut.
Dalam proses ini ditemukan tingkat eror yang
cukup tinggi disebabkan data yang tidak lengkap.
Salah satu ketidaklengkapan itu berasal dari
data peta ketersediaan lahan untuk pertanian
yang sistem koordinat proyeksinya kurang
lengkap. Konsekuensinya, hasil dari digitasi yang
dilakukan mengalami perbedaan luasan yang
cukup signifikan antara jumlah luasan yang ada
dalam peta tersebut dengan jumlah luasan hasil
digitasi. Kendala kemudahan akses data dan
ketersediaan data yang baik tidak mengurangi
kualitas analisis dalam laporan ini untuk
menunjukkan gradasi tingkat kerawanan pangan
yang disertai dengan dinamika penyusutan lahan
dan penggunaannya.
8
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
T
ingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan setiap wilayah di
Indonesia dipetakan setiap tahun oleh Kementerian Pertanian.
Ada tiga faktor yang dianggap menentukan kerawanan pangan
yaitu: ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan. Menurut
Badan Ketahanan Pangan (2019) ketiga faktor tersebut dijabarkan melalui
sembilan indikator sbb:
1.	 Indikator pada aspek ketersediaan pangan adalah rasio konsumsi
normatif per kapita terhadap ketersediaan beras, jagung, ubi kayu,
dan ubi jalar
2.	 Indikator pada akses pangan adalah persentase penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan, persentase rumah tangga dengan
proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65 persen terhadap
total pengeluaran, dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik.
3.	 Indikator pada aspek pemanfaatan pangan adalah rata-rata lama
sekolah perempuan diatas 15 tahun, persentase rumah tangga tanpa
akses ke air bersih, rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan
terhadap tingkat kepadatan penduduk, persentase balita dengan
tinggi badan di bawah standar (stunting), dan angka harapan hidup
pada saat lahir.
Bab
Tiga
Kondisi Pangan
di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
9
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Dalam menggambarkan kondisi pangan
di Sumsel, Kalteng dan Sulsel, JKPP akan
merefleksikan Peta Ketahanan dan Kerentanan
Pangan 2019 yang diterbitkan oleh Kementerian
Pertanian tersebut dengan memeriksa aspek-
aspek kunci dalam produksi pangan, khususnya
beras, terdiri dari:
1.	 Ketersediaan lahan sawah terkait
dengan ancaman-ancaman alih
fungsi yang dihadapinya, kondisi
penerimaan dan belanja petani
tanaman pangan, serta
2.	 Kondisi kemiskinan di wilayah-
wilayah yang produksi berasnya
lebih rendah dari kebutuhan
konsumsinya (defisit).
JKPP memfokuskan pembahasan
pada produksi beras, karena dalam
pandangan JKPP persediaan cadangan
beras bukan hanya persoalan
produktivitas dan neraca produksi-
konsumsi, melainkan juga persoalan
politik kedaulatan pangan. Kedaulatan
pangan lokal diuji secara nyata
ketika berhadapan dengan kondisi
penutupan jalur logistik ekspor-impor
pangan akibat PSBB. Oleh sebab itu,
politik kedaulatan pangan meletakkan
masalah ketersediaan beras di luar
persoalan perdagangan atau ekspor-
impor. Dalam perspektif kedaulatan
pangan, ada atau tidaknya beras
berkaitan erat dengan persoalan
alokasi lahan untuk pertanian pangan
terhadap alokasi ruang keseluruhan
dalam perencanaan tata ruang dan
wilayah, serta akses petani dan warga
miskin terhadap pangan di lokasi-
lokasi defisit beras. Fokus analisis
pada wilayah kabupaten/kota yang
defisit diharapkan dapat memberikan
gambaran yang lebih tajam tentang kondisi
kedaulatan pangan lokal, sebagai pemberi sinyal
antisipasi cepat bagi kerawanan pangan atau
kelaparan kronis.
Bab ini akan menjelaskan terlebih dulu kondisi
produksi beras terkait dengan kecukupan atau
ketidakcukupannya dalam memenuhi konsumsi
beras warga di provinsi yang bersangkutan.
Selanjutnya, analisa kesejahteraan petani dan
tingkat kemiskinan akan difokuskan pada
wilayah-wilayah yang terhitung memiliki
produksi beras defisit.
JKPP memfokuskan pembahasan
pada produksi beras, karena dalam
pandangan JKPP persediaan cadangan
beras bukan hanya persoalan
produktivitas dan neraca produksi-
konsumsi, melainkan juga persoalan
politik kedaulatan pangan.
Dalam perspektif kedaulatan pangan,
ada atau tidaknya beras berkaitan
erat dengan persoalan alokasi lahan
untuk pertanian pangan terhadap
alokasi ruang keseluruhan dalam
perencanaan tata ruang dan wilayah,
serta akses petani dan warga miskin
terhadap pangan di lokasi-lokasi
defisit beras.
“
10
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS
SUMATERA SELATAN
8.370.320 Jiwa
Jumlah Penduduk
PERMINTAAN BERAS
Konsumsi Beras
780.950,86 Ton/tahun
Rata-rata konsumsi setiap penduduk
93,3 kg/kapita/tahun atau 0,0933 ton/
kapita/tahun
PASOKAN BERAS
Luas Panen
513.209 Ha
Produksi GKG
2646.566 ton/tahun
setara Beras 1.511.987 Ton/Tahun
dengan nilai konversi GKP ke
Beras rata - rata 57,13%
=
KATEGORI
DEFISIT
< 0,07 - 0,0932 Ton Kapita/Tahun
CUKUP
0,0933 - 0,1166 Ton Kapita/
Tahun
SURPLUS
0,1167 - diatas 0,1399 Ton Kapita/
Tahun
KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA
1.	Ogan Kemiring Ulu
2.	Muara Enim
3.	OKU Selatan
4.	PALI
5.	Musi Rawas Utara
6.	Palembang (Kota)
7.	Prabumuli (Kota)
8.	Pagar Alam (Kota)
9.	Lubuklinggau (Kota)
0.0147
0.2569
0.0704
0.1027
0.1387
0.1244
0.6183
0.0472
0.5272
0.2582
0.1242
0.0425
0.0455
0.0081
0.0003
0.0749
0.0111
0.1806
OganKomeringUlu
OganKemeringIlir
MuaraEnim
Lahat
MusiRawas
MusiBanyuasin
Banyuasin
OKUSelatan
OKUTimur
OganIlir
EmpatLawang
PALI
MusiRawasUtara
Palembang/Kota
Prabumulih/Kota
PagarAlam/Kota
Lubuklinggau/Kota
SumateraSelatan
=
1.	Lahat
1.	Ogan Kemiring Ilir
2.	Musi Rawas
3.	Musi Banyuasin
4.	Banyuasin
5.	OKU Timur
6.	Ogan Ilir
7.	Empat Lawang
Grafik Pasokan Beras Di Sumatera
Selatan Tahun 2018
Perorang/Ton/Kapita/Tahun
2018
11
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN
SUMATERA SELATAN2018
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian
1.039.098 RTUP
219.352 RTUP yang
mengusahakan tanaman padi.
Penggunaan Lahan
1.031.088 RTUP
Terdapat kenaikan rumah tangga
petani gurem dari sebanyak
110.932 (2013) naik (24,52%)
menjadi 138.134 (2018).
Penguasaan Lahan
Rata - Rata 16.550.43 m2
Tahun 2013 luas rata - rata penguasaan
lahan 19.499,74 m2
, penurunan
penguasaan lahan juga terjadi pada lahan
sawah pertanian di tahun 2013 sebesar
18.928,78 m2
menjadi 15.921,06 m2
di
tahun 2018
TINGKAT KESEJAHTERAAN
Nilai Tukar Petani
Rata - Rata NTP Sub Sektor
Tanaman Pangan 99,72
dari Januari - Desember 2018
Rata-rata pertumbuhan negatifnya
0,09%, yang artinya telah terjadi
penurunan tingkat kesejahteraan
yang dialami oleh petani.
Rp
Penduduk Golongan Miskin
1.068,27 ribu Jiwa
Pekerjaan Golongan Miskin :
41% Tidak Bekerja
7,84% Bukan Pertanian
51,16% Pertanian
12
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Provinsi Sumatera Selatan
Gambar 1. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 (Kementerian Pertanian, 2019)
Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas 17
daerah administratif kabupaten/kota yang
memiliki wilayah daratan seluas 86.700,68
km2
. Daerah administratif terluas terletak di
Kabupaten Ogan Komering Ilir (17.024,47 km2
atau 19,64%) dan tersempit di Kota Palembang
(366,48 km2
atau 0,42%). Pada tahun 2018
jumlah penduduk Sumatera Selatan sebanyak
8.370.320 jiwa. Dari segi demografi, Palembang
sebagaikotaterbanyakpenduduknya19,63%dan
Kota Pagar Alam terkecil jumlah penduduknya
1,65% dari total jumlah penduduk di Sumatera
Selatan.
Dalam rekaman peta kerentanan dan
ketahanan pangan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pertanian pada 2019, memiliki
kabupaten dan kota yang menduduki prioritas
4-6 atau masuk dalam kategori tahan pangan
(Kementerian Pertanian, 2019). Dengan
menggunakan analisis pasokan dan permintaan
pangan,khususnyaberas,kajianinimendapatkan
gambaran rinci kemampuan setiap kabupaten
dan kota dalam memproduksi beras untuk
memenuhi tingkat konsumsi pangan ideal bagi
seluruh penduduknya. Lebih jauh lagi, kajian
ini juga mengaitkan kondisi defisit dan surplus
produksi beras tersebut dengan kondisi petani
dan lahan pertaniannya, serta kesejahteraan
produsen maupun konsumen pangan di wilayah-
wilayah yang terhitung defisit.
1. Pasokan dan Permintaan Beras
Dengan jumlah penduduk Sumatera Selatan
sebesar 8.370.320 jiwa, kebutuhan konsumsi
beras mencapai 780.950,86 ton/tahun dengan
rata-rata konsumsi setiap penduduk 93,3 kg/
kapita/tahun. Dengan luas panen 513.209 ha
13
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
serta tingkat produktivitas rata-rata 5,174 ton/
ha, maka jumlah produksi Gabah Kering Giling
(GKG) yang dihasilkan sebesar 2646.566 ton/
tahun atau 1.511.987 ton produksi padi setara
beras. Jumlah produksi beras sebesar 1.511.987
ton itu dapat memberikan pasokan beras untuk
setiap penduduk di Sumatera Selatan sebesar
180,6 kg/kapita/tahun. Sementara rata-rata
kebutuhan beras di Sumatera Selatan sebanyak
780.950,86 ton. Artinya, ketersediaan beras
yang diperoleh dari produksi pada lahan di
Sumatera Selatan dapat mencukupi rata-rata
kebutuhan beras per kapita/tahun bahkan
ketersediaan itu lebih besar dibandingkan rata-
rata konsumsi beras per kapita/tahun. Pada
level daerah provinsi, Sumatera Selatan dapat
dikatakan cukup untuk pemenuhan kebutuhan
pangan padi sebanyak 1.511.987 ton padi setara
beras.
Gambar 2. Peta Kerawanan Pangan di Provinsi Sumatera Selatan
Analisis tabular dan spasial mengenai pasokan
dan permintaan beras menunjukkan bahwa dari
17 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan,
terdapat 5 daerah kabupaten yang mengalami
defisit produksi pangan, dan daerah kota secara
keseluruhan mengalami defisit produksi pangan
(Tabel 1 dan Gambar 2). Terdapat lima kabupaten
yang status pasokan berasnya defisit dan
terdapat satu kabupaten yang statusnya cukup
atau sedikit saja di atas pemenuhan konsumsi
ideal per kapita per hari.
Lima kabupaten di Sumatera Selatan yang
mengalami defisit antara lain Ogan Kemiring
Ulu (OKU), Penukal Adab Lematang Ilir (PALI),
Musi Rawas Utara, OKU Selatan, dan Muara
Enim dengan tingkat defisit yang bervariatif.
Sebanyak 3 kabupaten berada pada tingkat
defisit melebihi 50% di antaranya Kabupaten
Ogan Kemiring Ulu (OKU) menjadi kabupaten
14
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
dengan tingkat defisit yang paling tinggi sebesar
84,26%; Kabupaten PALI tingkat defisit sebesar
54,44%; dan Kabupaten Musi Rawas Utara
sebesar 51,24%. Artinya, tiga kabupaten tersebut
berturut-turut hanya mampu menyediakan
pasokan sebesar 15,74%; 45,56%; dan 48,76%.
Dua kabupaten yang lain memiliki tingkat defisit
dibawah 50% yaitu OKU Selatan 49,43% dan
Muara Enim 24,54%.
Kabupaten/Kota
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)*
Permintaan Pasokan (Ketersedian)
Keterangan
Konsumsi
Beras Per
orang/kap/
tahun (ton)**
Kebutuhan
beras (ton)
Luas
Panen
(Ha)*
Produksi
GKG (Ton)*
Produktivitas
(Ton/ha)
Produksi
Padi Setara
Beras (Ton)*
Pasokan
Beras
(Ton)
Nilai
Konversi
GKG ke
Beras (%)
OKU 363.617 0,0933 339.325,47 2.110 9.345 4,429 5.340 0.0147 57,14 Defisit
OKI 819.570 0,0933 764.65,88 73.202 368.513 5,034 210.531 0.2569 57,13 Surplus
Muara Enim 627.818 0,0933 585.75,42 16.541 77.363 4,677 44.199 0.0704 57,13 Defisit
Lahat 405.524 0,0933 378.35,39 13.541 72.917 5,385 41.661 0.1027 57,13 Cukup
Musi Rawas 399.075 0,0933 372.33,70 23.506 96.880 4,122 55.348 0.1387 57,13 Surplus
Musi Banyuasin 638.625 0,0933 595.83,71 30.469 139.067 4,564 79.448 0.1244 57,13 Surplus
Banyuasin 844.175 0,0933 787.61,53 185.964 913.635 4,913 521.958 0.6183 57,13 Surplus
OKU Selatan 357.105 0,0933 333.17,90 6.867 29.488 4,294 16.849 0.0472 57,14 Defisit
OKU Timur 670.272 0,0933 625.36,38 94.374 618.580 6,555 353.393 0.5272 57,13 Surplus
Ogan Ilir 425.032 0,0933 396.55,49 37.163 192.099 5,169 109.747 0.2582 57,13 Surplus
Empat Lawang 247.285 0,0933 230.71,69 13.141 53.781 4,093 30.725 0.1242 57,13 Surplus
PALI 187.281 0,0933 174.73,32 3.569 13.933 3,904 7.960 0.0425 57,13 Defisit
Musi Rawas Utara 189.895 0,0933 177.17,20 3.885 15.124 3,893 8.639 0.0455 57,12 Defisit
Palembang/Kota 1.643.488 0,0933 153.337,43 4.078 23.204 5,69 13.257 0.0081 57,13 Defisit
Prabumulih/Kota 184.425 0,0933 172.06,85 21 105 5 60 0.0003 57,14 Defisit
Pagar Alam/Kota 137.909 0,0933 128.66,91 3.565 18.087 5,073 10.332 0.0749 57,12 Defisit
Lubuklinggau/Kota 229.224 0,0933 213.86,60 1.213 4.445 3,664 2.540 0.0111 57,14 Defisit
Sumatera Selatan 8.370.320 0,0933 780.950,86 513.209 2.646.566 5,174 1.511.987 0.1806 57,13 Surplus
Tabel 1. Analisis Pasokan dan Permintaan Produksi Beras Di Sumatera Selatan Tahun 2018
Sumber : * Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka 2019 (BPS)
** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian)
Dilihat dari segi pasokan, tingginya tingkat
defisit produksi beras di Kabupaten OKU dan
PALI disebabkan oleh dua hal penting. Pertama
sempitnya luas lahan panen. Di Kabupaten OKU
luas panen hanya 2.110 ha atau hanya 0,5% dari
luas administrasi kabupaten, sementara untuk
memenuhi kebutuhan beras dibutuhkan luas
lahan panen sebesar 13.404,73 ha. Di sisi yang
lain, sebesar 47,74 % dari luasan administrasi
Kabupaten sudah berupa Izin Konsensi maupun
HGU yang 75,93% dalam bentuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP) (lihat Tabel 7 pada Bab 4).
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan Kabupaten
PALI, sebanyak 95,24 % dari luas wilayah
administratifnya sudah dialokasikan dalam
bentuk Izin Konsensi maupun HGU yang 74,80%
dalam bentuk IUP. Kedua, minimnya tingkat
produksi beras juga diakibatkan oleh rendahnya
tingkat produktivitas. Terdapat dua kabupaten
yang dibawah rata-rata tingkat produktivitas
provinsi yaitu: di OKU tingkat produktivitas
tanaman padi lebih rendah 14,40%, dan di
Kabupaten PALI 24,55%.
Pada wilayah administrasi kota yang secara
keseluruhan mengalami defisit produksi beras
dengan tingkat defisit yang sangat signifikan di
tiga kota yaitu Prabumulih 99,65%, Palembang
91,35% dan Lubuk Linggau 88,12%. Defisit
terendah di Pagar Alam sebesar 19,70%. Jika
dilihat dari besaran konsumsi beras, Kota
Palembang menjadi kota tertinggi konsumsi
15
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
berasnya mencapai 19,13% dari total konsumsi
beras di Sumatera Selatan. Untuk dapat
memenuhi kebutuhan tersebut Kota Palembang
setidaknya membutuhkan luas lahan panen
sebesar 47.168,66 ha atau lebih luas 23,72%
jika dibandingkan dengan luas administrasinya.
Di Prabumulih yang tingkat defisitnya sangat
tinggi, selain dampak dari kepadatan penduduk
juga karena minimnya luas lahan panen yang
besarannya hanya 8,74% dari luas administrasi.
Hal ini berbanding terbalik dengan luasan izin
konsensi dalam bentuk IUP yang besarannya
mencapai 34,71% dari total luas administratif
wilayah (lihat Tabel 7 pada bab selanjutnya).
tingginya tingkat defisit
produksi beras di Kabupaten
OKU dan PALI disebabkan oleh
dua hal penting. Pertama di
sempitnya luas lahan panen. di
OKU sebesar 47,74% dari luasan
administrasi Kabupaten sudah
berupa Izin Konsensi maupun
HGU yang 75,93% dalam bentuk
Izin Usaha Pertambangan
(IUP). di Kabupaten PALI,
sebanyak 95,24% dari luas
wilayah administratifnya
sudah dialokasikan dalam
bentuk Izin Konsensi maupun
HGU yang 74,80% dalam
bentuk IUP. Kedua, minimnya
tingkat produksi beras juga
diakibatkan oleh rendahnya
tingkat produktivitas.
2. Petani dan Lahan Pertanian
Merujuk pada Survei Pertanian Antar Sensus
2018 (SUTAS 2018), jumlah petani di Indonesia
sebanyak 33.487.806 orang dan terdapat
27.682.117 rumah tangga usaha pertanian
(RTUP). Jumlah petani itu terdiri atas laki-laki
25.436.478 orang dan perempuan 8.051.328
orang. Di Sumatera Selatan jumlah petani
sebesar 3,87% atau sebanyak 1.298.888
orang pada tahun 2018 yang terdiri atas laki-
laki 1.015.105 orang dan perempuan 283.783
orang. Jumlah RTUP tahun 2018 meningkat
dibandingkan tahun 2013, dari 958.724 RTUP
menjadi 1.039.098 RTUP.
Jumlah RTUP 2018 itu tersebar dalam
subsektor tanaman pangan (padi dan palawija),
hortikultura, perkebunan, peternakan (ternak
pangan dan ternak non-pangan), perikanan
(budidaya ikan dan penangkapan ikan),
kehutanan, dan jasa penunjang pertanian.
Sekalipunterdapatsebanyak315.285RTUPuntuk
tanaman pangan khususnya padi pada tahun
2018 namun disimak dari jenis usaha utamanya
terdapat 219.352 RTUP yang mengusahakan
tanaman padi. Usaha utama padi dari RTUP itu,
sebanyak 183.774 RTUP mengandalkan sumber
penghasilan utama mereka dari pertanian padi,
dan sebanyak 35.578 RTUP sumber utama
penghasilan bukan dari pertanian padi.
Dari segi penguasaan lahan, jumlah RTUP
tahun 2018 di Sumatera Selatan mengalami
kenaikan dibandingkan tahun 2013 yaitu dari
949.801 RTUP naik 8.59% menjadi 1.039.098
RTUP. Dari RTUP itu terdapat RTUP pengguna
lahan dan bukan pengguna lahan.
Di Sumatera Selatan RTUP pengguna lahan
juga meningkat 8,56% menjadi 1.031.088 tahun
2018. Namun kenaikan RTUP pengguna lahan
ini bersamaan dengan kenaikan rumah tangga
petani gurem dari sebanyak 110.932 (2013) naik
(24,52%) menjadi 138.134 (2018). Dengan begitu
jumlah RTUP pengguna lahan seluas > 0,50 ha
semakin banyak di Sumatera Selatan.
“
16
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Kenaikan jumlah RTUP itu berkebalikan
dengan luas penguasaan terhadap lahan.
Luas rata-rata penguasaan lahan di Sumatera
Selatan mengalami penurunan dari 19.499,74
m2
(sawah pertanian seluas 18.928,78 m2
) tahun
2013 menjadi 16.550.43 m2
(sawah pertanian
seluas 15.921,06 m2
) tahun 2018. Untuk rincian
rata-rata penguasaan lahan pertanian
sebagai berikut: Pada tahun 2018,
sawah 2.231,74 m2
(sawah irigasi
538,94 m2
dan sawah non-irigasi
1.692,80 m2
) dan bukan sawah
13.689,32 m2
, dan pada tahun
2013 rata-rata penguasaan
lahan pertanian oleh RTUP
untuk sawah sebanyak 3.211,59
m2
dan untuk lahan bukan
sawah 15.717,19 m2
. Berdasarkan
golongan luas lahan pertanian
(sawah dan non-sawah) yang dikuasai
(hektare) oleh RTUP pada tahun 2018, yaitu:
(1) Luas < 0,50 sebanyak 145.435; (2) Luas
0,50-0,99 sebanyak 165.956; (3) Luas 1,00-1,99
sebanyak 368.967; (4) Luas 2,00-2,99 sebanyak
209.009; (5) Luas 3,00-3,99 sebanyak 70.371;
(6) Luas 4,00-4,99 sebanyak 35.366; (7) Luas
5,00-9,99 sebanyak 29.393; dan (8) Luas ≥
10,00 sebanyak 5.510. RTUP dengan golongan
luas penguasaan 1,00-1,99 ha terbesar berjumlah
35,82 persen.
3. Tingkat Kesejahteraan
3.1. Nilai Tukar Petani
Dari bulan Januari hingga Desember 2018
rata-rata NTP Gabungan (Tanaman Pangan,
Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat,
Pertenakan dan Perikanan) di Sumatera Selatan
rata-rata sebesar 93,62 yang artinya bahwa
terjadi penurunan tingkat kesejahteraan petani
atau indeks yang diterima petani lebih rendah
dibanding dengan indeks yang dibayar petani,
rata-rata indeks yang diterima (It) petani sebesar
121,20 persen sedangkan indeks yang dibayar
(Ib) petani 129,47 persen. Nilai NTP Gabungan
terendah terjadi pada bulan Desember 2018,
yaitu sebesar 91,5 dan NTUP terendah juga pada
bulan Desember 2018, yaitu 98,48. Perubahan
ini diakibatkan oleh turunnya indeks terima
sebesar 0,34 % dan naiknya indeks bayar sebesar
0,65%. Kenaikan indeks bayar diakibatkan oleh
kenaikan pengeluaran konsumsi rumah
tangga petani sebesar 0,84%. Tingkat
kenaikan terbesar ada di bahan
pangan 1,47%, ditambah dengan
kenaikan biaya produksi
dan penambahan modal
sebesar 0,14%, serta kenaikan
pengeluaran obat-obatan dan
pupuk sebesar 0,23%.
Pada subsektor tanaman
pangan NTP (NTPP) di tahun 2018
nilai rata-rata dari Januari hingga
Desember kondisinya tidak jauh berbeda
dengan NTP gabungan atau masih dibawah 100,
yaitu 99,72. Rata-rata pertumbuhan negatifnya
0,09%, yang artinya telah terjadi penurunan
tingkat kesejahteraan yang dialami oleh petani.
Penurunan ini sangat siginifikan terjadi pada
semester pertama (Januari-Juni) sebesar 1,04%.
Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan negatif
rata-rata indeks terima 0,51% dan terjadi
pertumbuhan positif di indeks bayar sebesar
0,53%.
Penurunan terbesar pada NTPP terjadi
pada bulan Maret nilainya mencapai 2,39%.
Penurunan ini terjadi disebabkan oleh terjadinya
penurunan indeks harga pada kelompok
tanaman padi sebesar 1,86% dan dan indeks
harga pada kelompok tanaman palawija sebesar
1,93%, sedangkan terjadi kenaikan indeks bayar
sebasar 0,53% pada kelompok konsumsi rumah
tangga kenaikannya 0,64% yang tertinggi
kenaikannya ada pada bahan makanan sebesar
1,14% dan untuk kelompok biaya produksi, serta
penambahan modal 0,21% dengan kenaikan
tertinggi ada pada transportasi 1,14%.
17
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
95.66
96.17
95.34
94.01
94.27
93.65
92.17
92.22
92.94
93.09
92.42
91.51
103.61
103.94
103.29
101.86
102.52
102.19
100.84
100.65
100.21
100.04
98.96
98.48
112
114
116
118
120
122
124
126
128
130
132
84
86
88
90
92
94
96
98
100
102
104
106
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
Diagram 1.Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani Su-
matera Selatan 2018
102.82
102.12
99.68
97.69
97.64
97.27
97.28
96.63
100.75
100.64
101.95
102.11
110.45
109.25
105.07
105.07
105.55
105.55
106.08
105.02
108.14
107.55
108.55
109.37
122
124
126
128
130
132
134
136
85
90
95
100
105
110
115
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
Diagram 2. NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan
Sumatera Selatan 2018
Kenaikan jumlah rumah tangga petani yang
diikuti oleh peningkatan jumlah petani gurem
dalam jangka waktu lima tahun terakhir tersebut
(2013-2018), kemungkinan besar disebabkan
oleh angka NTP yang selalu rendah. Sepanjang
2018, misalnya, angka NTP di Sumatera Selatan
tidak pernah mencapai 100 atau nilai yang
diperoleh petani dari hasil pertaniannya selalu
lebih rendah dari pengeluaran yang harus
ditanggungnya.
3.2. Kemiskinan, Konsumsi dan Kalori
Mengacu pada Susenas (Survei Sosial
Ekonomi Nasional) bulan Maret 2018, angka
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
Provinsi Sumatera Selatan sebesar Rp970.078.
Jika dibandingkan antara daerah, rata-rata
pengeluaran per kapita lebih kecil di perdesaan
daripada di perkotaan, yaitu: Rp1.206.545/
kapita/bulan di kota dan Rp829.813/kapita/bulan
di desa. Dari jumlah pengeluaran rata-rata per
kapita per bulan sebesar Rp970.078 itu, porsi
pengeluaran makanan (Rp503.297 atau 51,88%)
lebih besar ketimbang non-makanan (Rp466.781
atau 48,12%). Pengeluaran di perdesaan lebih
tinggi untuk makanan (55,97%) daripada non-
makanan (44,03%), sedangkan di kota lebih
besar non-makanan (52,86%) daripada makanan
(47,14%). Dengan garis kemiskinan sebesar (Rp/
kapita/bulan) Rp397.150 (perkotaan Rp437.983
dan perdesaan Rp374.527), pada tahun 2018
golongan miskin sebanyak 1.068,27 ribu di
Provinsi Sumatera. Pekerjaan golongan miskin ini
berasal dari tidak bekerja 41%, bukan pertanian
7,84%, dan pertanian 51,16%.
Di Sumatera Selatan pengeluaran pangan
berasperkapita/bulansebanyak6,842kgdengan
nilai Rp62.964. Pengeluaran beras di perdesaan
lebih tinggi sebanyak 7,606 kg (Rp69.638)
sedangkan di perkotaan sebesar 5,553 kg
(Rp51.711). Kontribusi pangan beras dalam
pengeluaran per kapita/bulan menyumbang
sebesar 12% dari seluruh pengeluaran makanan,
dan sebesar 6,4% dari seluruh pengeluaran
makanan dan non-makanan. Sebagaimana
diketahui bahwa 1 kg beras (beras lokal, kualitas
unggul, impor) mengandung 3.622,00 kilokalori
(kkal) dan 84,75 gram protein, 1 kg beras ketan
mengandung 3.605,00 kkal dan 77,00 gram
protein.
Berdasarkan konsumsi pangan beras tersebut,
pada tahun 2018 rata-rata konsumsi padi-
padian sebanyak 884,61 Kilokalori (kkal) per
kapita sehari, dan untuk beras/ketan sebanyak
826.01 kkal. Pada tingkat nasional, rata-rata
konsumsi beras sebanyak 800,22 kkal dan ketan
2,52 kkal per kapita sehari. Sumber kalori tidak
hanya berasal dari beras tapi juga dari sumber
padi-padian lain (seperti jagung dan terigu) dan
makanan konsumsi lainnya. Rata-rata konsumsi
kalori di Sumatera Selatan sebesar 2.134,53 kkal,
yang jenis padi-padian menyumbang paling
besar sebanyak 884,61 kkal (41,44%). Dengan
Sumber : Badan Pusat Statitik (BPS) Sumatera Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani dan Inflasi
PedesaanPerdesaan Sumatera Selatan 2018
Sumber : Badan Pusat Statitik (BPS) Sumatera Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani dan Inflasi
PedesaanPerdesaan Sumatera Selatan 2018
18
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
angka patokan kecukupan kalori/energi per
kapita sehari untuk penduduk Indonesia sebesar
2.150 kkal, maka rata-rata konsumsi kalori di
Sumatera Selatan masih berada di bawah angka
patokan.
Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan
Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI)
golongan miskin pada Maret 2018 berturut-
turut sebanyak 45,71 ribu (12,61%) dan 25,78
ribu (13,81%). Dari segi persentase, tingkat
kemiskinan di OKU menempati peringkat 9 dari
beberapa kabupaten/kota di Sumatera Selatan
(Musi Rawas Utara 19,12%; Musi Banyuasin
16,52%; Lahat 16,15%; OKI 15,28%; PALI 13,81%;
Musi Rawas 13,76%; Ogan Ilir 13,19%; dan Lubuk
Linggau 13,02%). Dengan garis kemiskinan (Rp/
Kapita/Bulan) sebesar Rp415.785 di OKU, dan
Rp377.160 di PALI, maka sebanyak 68,31%,
dan 63,19% dikeluarkan untuk makanan pada
masing-masing kabupaten.
Jumlah penduduk miskin di OKU berasal
dari tiga sektor pekerjaan, yaitu: tidak bekerja
43,02%, bukan di sektor pertanian 4,25%, dan
sektor pertanian 52,73%. Tidak berbeda jauh
dengan OKU, di PALI sektor pekerjaan yang
menyumbang pada tingkat kemiskinan berasal
dari tidak bekerja 33,93%, bukan di sektor
pertanian 7,67 %, dan sektor pertanian 58,40%.
Dengan begitu, pekerjaan di sektor pertanian
menyumbang besar pada jumlah kemiskinan di
dua kabupaten tersebut.
OKU dan PALI sebagai daerah yang paling
kekurangan pasokan beras memiliki porsi
penduduk sangat miskin sampai dengan rentan
miskin hampir setengah dari keseluruhan
penduduk di masing-masing kabupaten. Di OKU
penduduk yang tergolong sangat miskin sampai
dengan rentan miskin pada 2019 mencapai
45,57%, sedangkan di PALI sedikit lebih rendah
yaitu 38,67%.
Kedua angka proporsi penduduk miskin ini
masing-masing sedikit berada di atas dan di
bawah persentase rata-rata penduduk miskin
di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Selatan,
yaitu: 42,82%. Kondisi ini memberi sinyal bahaya
bahwa kemiskinan di daerah-daerah defisit beras
berimplikasi pada kenaikan pengeluaran untuk
makan yang lebih besar, sehingga berpeluang
membuat penduduk yang rentan miskin dan
hampir miskin menjadi lebih miskin lagi, jika
tidak ada peluang ekonomi yang lebih baik.
OKU dan PALI sebagai daerah yang paling kekurangan pasokan beras memiliki
porsi penduduk sangat miskin sampai dengan rentan miskin hampir setengah
dari keseluruhan penduduk di masing-masing kabupaten. Di OKU penduduk
yang tergolong sangat miskin sampai dengan rentan miskin pada 2019
mencapai 45,57%, sedangkan di PALI sedikit lebih rendah yaitu 38,67%.
“
19
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Foto: Aji Wihardandi
Sumber : jkpp.org
Negara-negara harus memastikan bahwa petani dan orang yang bekerja
di pedesaan mendapatkan akses fisik dan ekonomis kapan pun untuk
mendapatkan pangan yang layak dan memadai yang diproduksi dan
dikonsumsi secara berkelanjutan dan merata, yang menghormati budaya
mereka, yang menjaga akses pangan untuk generasi mendatang
Pasal 15 ayat 2 - United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in
Rural Areas
20
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS
KALIMANTAN TENGAH
2.660.209 Jiwa
Jumlah Penduduk
PERMINTAAN BERAS
Konsumsi Beras
231.970,22 Ton/tahun
Rata-rata konsumsi setiap penduduk
87,2 kg/kapita/tahun atau 0,0872
ton/kapita/tahun
PASOKAN BERAS
Luas Panen
202.142 Ha
Produksi GKG
742.758 ton/tahun
setara Beras 438.937 Ton/Tahun
dengan nilai konversi GKP ke
Beras rata - rata 59,09%
=
KATEGORI
DEFISIT
< 0,0654 - 0,0871 Ton Kapita/Tahun
CUKUP
0,0872 - 0,1090 Ton Kapita/Tahun
SURPLUS
0,1091 - di atas 0,1308 Ton Kapita/Tahun
KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA
1.	 Kotawaringin Barat
2.	 Kotawaringin Timur
3.	 Barito Selatan
4.	 Barito Utara
5.	 Sukamara
6.	 Lamandau
7.	 Seruyan
8.	 Gunung Mas
9.	 Murung Raya
10.	Palangkaraya (Kota) =
1.	Barito Timur
1.	Kapuas
2.	Katingan
3.	Pulang Pisau
Grafik Pasokan Beras di Kalimantan
Tengah Tahun 2018
Perorang/Ton/Kapita/Tahun
2018
0.0020
0.0851
0.7941
0.0314
0.0254
0.0205
0.0760
0.0321
0.1774
0.3889
0.0119
0.1056
0.0142
0.0001
0.1650
KotawaringinBarat
KotawaringinTimur
Kapuas
BaritoSelatan
BaritoUtara
Sukamara
Lamandau
Seruyan
Katingan
PulangPisau
GunungMas
BaritoTimur
MurungRaya
Palangkaraya/Kota
KalimantanTengah
21
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN
KALIMANTAN TENGAH2018
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian
287.868 RTUP
89.643 RTUP yang mengusahakan
tanaman padi.
Penggunaan Lahan
276.746 RTUP
Terdapat kenaikan rumah tangga
petani gurem dari sebanyak
77,40% dari 29.083 (2013)
menjadi 51.594 (2018)
Penguasaan Lahan
Rata - Rata 20.363,61 m2
terdapat 59.111 RTUP luas penguasaan
lahan pertanian sebesar < 0,50 Ha
TINGKAT KESEJAHTERAAN
Nilai Tukar Petani
Rata - Rata NTP Sub Sektor
Tanaman Pangan 95,84
dari Januari - Desember 2018
rata-rata indeks yang dibayarkan
petani (Ib) setiap bulannya untuk
kebutuhan konsumsi dan produksi
sebesar 0,43% lebih besar jika
dibandingkan dengan rata-rata
peningkatan indeks yang diterima
petani (It) setiap bulan hanya
sebesar 0,20%
Rp
Penduduk Golongan Miskin
136,93 ribu Jiwa
Pekerjaan Golongan Miskin :
37,16% Tidak Bekerja
12,39% Bukan Pertanian
50,45% Pertanian
22
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Provinsi Kalimantan Tengah
Gambar 3. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 (Kementerian Pertanian, 2019)
Kondisi pangan di provinsi Kalimantan
Tengah digambarkan pada peta ketahanan
dan kerentanan pangan yang diterbitkan
Kementerian Pertanian pada 2019 sebagai
wilayah yang memiliki beberapa kabupaten
prioritas 2-3 atau rentan pangan, dan sebagian
besar berada pada prioritas 4-6 atau tahan
pangan. Gambaran tersebut jika dianalisis lebih
rinci sebagaimana digambarkan pada bagian
selanjutnya dari laporan ini didapatkan bahwa
Kalimantan Tengah memang masih mampu
mencukupi kebutuhan berasnya sendiri atau
surplus. Namun demikian, status surplus bukan
merupakan representasi dari kondisi kecukupan
di daerah-daerah defisit beras, terutama
kaitannya dengan kesejahteraan petani dan
akses terhadap pangan dan/atau lahan pertanian.
Mengapa demikian? Bagian selanjutnya akan
menjelaskan hal tersebut.
1. Pasokan-Permintaan Beras
Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas 14
kabupaten/kotadenganluasdaerahadministratif
15.433.397.93 ha. Jumlah penduduk pada tahun
2018 sebanyak 2.660.209 jiwa. Kabupaten/
Kota terluas dan tersempit secara berurutan di
Murung Jaya 15,46%, dan di Palangkaraya 1,69%.
Sementara penduduk terbanyak pada tahun
2018 berada di Kotawaringin Timur (17,16%)
dan terkecil di Sukamara (2,33%). Kebutuhan
beras pada tahun 2018 sebanyak 231.970,22 ton
dengan konsumsi per kapita per tahun sebanyak
0,0872 ton. Produksi padi setara beras pada
tahun 2018 sebanyak 438.937 ton.
23
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Kabupaten/Kota
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)*
Permintaan (Permintaan) Pasokan (Ketersedian)
KeteranganKonsumsi
Beras Per
orang/kap/
tahun (ton)**
Kebutu-
han beras
(ton)
Luas
Panen
(Ha)*
Produksi
GKG (Ton)*
Produkti-
vitas (Ton/
ha)*
Produksi
Padi Setara
Beras
(Ton)*
Pasokan
Beras
(Ton)
Nilai
Konversi
GKG ke
Beras
(%)
Kotawaringin Barat 304.082 0,0872 26.515,95 319 1.028 3,223 606 0,0020 58,9494 Defisit
Kotawaringin Timur 456.409 0,0872 39.798,86 19.797 65.759 3,322 38.862 0,0851 59,0976 Defisit
Kapuas 356.382 0,0872 31.076,51 116.538 478.898 4,109 283.007 0,7941 59,0955 Surplus
Barito Selatan 135.736 0,0872 11.836,18 2.142 7.202 3,362 4.256 0,0314 59,0947 Defisit
Barito Utara 130.019 0,0872 11.337,66 1.998 5.587 2,796 3.303 0,0254 59,1194 Defisit
Sukamara 62.044 0,0872 5.410,24 909 2.153 2,369 1.273 0,0205 59,1268 Defisit
Lamandau 80.512 0,0872 7.020,65 3.295 10.347 3,14 6.115 0,0760 59,0993 Defisit
Seruyan 197.839 0,0872 17.251,56 4.806 10.753 2,237 6.354 0,0321 59,0905 Defisit
Katingan 167.706 0,0872 14.623,96 16.611 50.336 3,03 29.746 0,1774 59,0949 Surplus
Pulang Pisau 126.657 0,0872 11.044,49 25.782 83.354 3,233 49.258 0,3889 59,0949 Surplus
Gunung Mas 117.457 0,0872 10.242,25 1.064 2.369 2,227 1.401 0,0119 59,1389 Defisit
Barito Timur 123.557 0,0872 10.774,17 7.051 22.084 3,132 13.051 0,1056 59,0971 Cukup
Murung Raya 118.197 0,0872 10.306,78 1.819 2.852 1,568 1.684 0,0142 59,0463 Defisit
Palangkaraya/ Kota 283.612 0,0872 24.730,97 11 36 3,273 21 0,0001 58,3333 Defisit
Kalimantan Tengah 2.660.209 0,0872 231.970,22 202.142 742.758 3,674 438.937 0,1650 59,0956 Surplus
Sumber: * Provinsi Kalimantan Tengah Dalam Angka 2019 (BPS)
** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian)
Tabel 2. Analisis Pasokan-Permintaan Beras di Kalimantan Tengah pada 2018
Dari 14 kabupaten/kota di Kalimantan Tengah
itu, hanya 3 kabupaten saja yang dinyatakan
surplus produksi beras. Kabupaten yang surplus
produksi beras antara lain Kapuas, Katingan, dan
Pulang Pisau. Dari 9 kabupaten yang dinyatakan
defisit beras, terdapat 6
kabupaten tingkat defisitnya
lebih dari 50% seperti
Kabupaten Kotawaringin
Barat tingkat defisitnya
97,71%, Gunung Mas 86,32%,
Murung Raya 83,66%,
Sukamara 76,47%, Barito
Utara 70,87 % dan Seruyam
63,17%. Kota Palangkaraya
mengalami defisit pangan
dengan tingkat defisit 99,92%, Tabel produksi
beras di Kalimantan Tengah di Tabel 2.
Padatahun2019produksipaditertinggiberada
di Kabupaten Kapuas. Angka produksi padi di
Kabupaten Kapuas selama tahun 2019 mencapai
203.408,15 ton dari total luas panen 61.979,64
ha. Sementara produksi padi se-provinsi Kalteng
pada tahun 2019 adalah sebanyak 443.561,33
ton. Sehingga Kabupaten Kapuas saja telah
menyumbang hampir setengah pasokan padi
Provinsi Kalimantan Tengah, tepatnya 45,86
persen. Dibandingkan
dengan tahun 2018, terjadi
penurunan produksi padi yang
cukup signifikan pada tahun
2019. Produksi padi tahun
2018 mencapai 514.769,05
ton atau turun sebanyak
71.207,72 ton. Sementara
untuk produktivitas padi
per hektarenya, Kabupaten
Kapuas masih berada di
peringkat kedua dengan hanya 32,82 ton/ha
sementara produktivitas tertinggi padi berada di
Kabupaten Lamandau yang dapat menghasilkan
hingga 35,56 ton/ha. Rata-rata produktivitas
padi di Provinsi Kalimantan Tengah pada 2019
adalah 28,45 ton/ha.
24
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Gambar 4. Peta Kerawanan Pangan di Kalimantan Tengah
Tingginya angka defisit seperti di Kabupaten
Kotawaringin Barat yang mencapai hingga
97,71%, sebagai akibat dari sempitnya luas lahan
panen yang hanya 319 ha atau 0,4% dari luas
wilayah administrasinya. Jika dibandingkan, luas
konsensidiKotawaringinBaratsebesar210.481,81
ha yang luasan tersebut 660 kali dari luas lahan
panen. Gunung Mas juga dikategorikan dengan
tingkat defisit sangat tinggi 86,32%. Keberadaan
luas konsesi di Gunung Mas mencapai 77,17%
dari luas administrasinya atau 733 kali luas lahan
panen. Kondisi Barito Timur menggambarkan
bahwa sekalipun hasil perhitungan dinyatakan
surplus, namun angka surplus 21,13% sangat
rentan untuk menjadi defisit. Sebab terlihat
masifnya konsensi di Barito Timur yang luasanya
sampai 87,91% dari luas wilayah administratifnya.
Selain sempitnya luas lahan panen dan tingkat
produktivitas tanaman padi di kabupaten yang
dinyatakan defisit maupun surplus serta pada
umumnya di Kalimantan Tengah lebih rendah
jika dibandingkan dengan tingkat produktivitas
nasional di tahun 2018 sebesar 5,192 ton/ha2
.
Misalnya, di Kabupaten Seruyan lebih rendah
56,91% sedangkan untuk rata-rata produktivitas
tanaman padi di Kalimantan Tengah lebih rendah
29,24% dari rata-rata produktivitas tanaman
padi nasional.
2. Petani dan Lahan Pertanian
Mengacu pada SUTAS 2018 petani di
Kalimantan Tengah berjumlah 367.439 orang
(laki-laki 267.867 dan perempuan 99.572) atau
0,20% dari total jumlah petani di Indonesia
pada tahun 2018. Dari jumlah rumah tangga
usaha pertanian (RTUP) di Kalimantan Tengah
sebanyak 287.868 RTUP (1,03%), terdapat
3.
https://www.pertanian.go.id/Data5tahun/TPATAP-2017(pdf)/30-ProdtvPadi.pdf
25
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
89.643 RTUP di subsektor tanaman pangan
(padi), dan selebihnya tersebar pada subsektor
yang lain. Dari RTUP sebesar 1,03% itu pula,
sebanyak 58.044 RTUP jenis usaha utama
yang diusahakan mereka berada di subsektor
tanaman pangan padi. Sekalipun jenis usaha
utama di tanaman padi, namun terdapat 15.968
RTUP yang tidak mengandalkan pada tanaman
pangan padi sebagai sumber penghasilan utama
mereka. Sebaliknya, yang mengandalkan sumber
penghasilan utama dari tanaman pangan padi
sebanyak 42.076 RTUP.
RTUP sebanyak 287.868 itu terbagi dalam
RTUP pengguna lahan dan bukan pengguna
lahan. Jumlah rumah tangga pengguna lahan
di Kalimantan Tengah meningkat 5,94% dari
261.227 (2013) menjadi 276 746 (2018). Kenaikan
itu diikuti dengan kenaikan rumah tangga petani
gurem 77,40% dari 29.083 (2013) menjadi 51.594
(2018). Peningkatan jumlah petani gurem itu
bersamaan pola dengan kondisi penurunan luas
lahan pertanian (sawah dan non-sawah) yang
dikuasai RTUP, yaitu: dari rata-rata 30.202,03
m2
(2013) menjadi rata-rata 20.363,61 m2
(2018). Bila diklasifikasikan berdasarkan kategori
luasan lahan pertanian yang dikuasai (ha) oleh
rumah tangga pertanian sebagai berikut: (1)
Luas < 0,50 sebanyak 59.111; (2) Luas 0,50-0,99
sebanyak 34.714; (3) Luas 1,00-1,99 sebanyak
71.296; (4) Luas 2,00-2,99 sebanyak 49.155;
(5) Luas 3,00-3,99 sebanyak 22.082; (6) Luas
4,00-4,99 sebanyak 13.577; (7) Luas 5,00-9,99
sebanyak 20.145; dan (8) Luas ≥ 10,00 sebanyak
6.478. Golongan luas lahan pertanian 1,00-1,99
ha sebanyak 25,78% RTP dan golongan paling
besar >10,00 ha berjumlah 2,34% RTP.
Peningkatan jumlah petani gurem
itu bersamaan pola dengan kondisi
penurunan luas lahan pertanian
(sawah dan non-sawah) yang
dikuasai RTUP
3.Tingkat Kesejahteraan
3.1. Nilai Tukar Petani (NTP)
NTP gabungan (Tanaman Pangan,
Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat,
Pertenakan dan Perikanan) di Kalimantan
Tengah selama tahun 2018 bernilai 96,76% atau
dibawah 100, hal ini diakibatkan oleh kenaikan
rata-rata indeks yang dibayar petani sebesar
4,06% lebih besar dengan jika dibandingkan
dengan indeks harga yang diterima petani
sebesar 1,16%, artinya terjadi penurunan tingkat
kesejahteraan petani di Kalimantan Tengah dan
jika dibandingkan dengan NTP gabungan rata-
rata di tahun 2017 yang bernilai 98,60%, maka
di tahun 2018 terjadi penurunan NTP gabungan
sebesar 1,84%. Penurunan juga terjadi pada rata-
rata NTUP 2018 sebesar 104,61%, nilainya turun
1,095 jika dibandingkan dengan rata-rata NTUP
2017sebesar105,70%.Penurunaninidiakibatkan
oleh indeks harga yang dibayar untuk BPPBM
(Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal)
sebesar 2,76% lebih besar dibandingkan dengan
kenaikan indeks harga yang diterima petani
sebesar 1,61%. Kondisi ini menunjukkan bahwa
selama tahun 2018 kenaikan tingkat harga
komoditas pertanian lebih tinggi atau tidak
dapat mengimbangi kenaikan harga barang dan
jasa untuk proses produksi.
Sedangkan pada subsektor tanaman pangan
(padi dan palawija) yang berkaitan langsung
dengan pemenuhan kebutuhan pokok atau
dasar bagi masyarakat sehingga menempati
posisi yang paling strategis, sepanjang tahun
2018 rata-rata NTP subsektor tanaman pangan,
(NTPP) nasibnya tidak jauh berbeda dengan NTP
gabungan, angkanya masih dibawah 100 yaitu
sebesar 95,84%, dimana rata-rata indeks yang
dibayarkan petani (Ib) setiap bulannya untuk
kebutuhan konsumsi dan produksi sebesar
0,43% lebih besar jika dibandingkan dengan
rata-rata peningkatan indeks yang diterima
petani (It) setiap bulan hanya sebesar 0,20%
dan pada kelompok tanaman padi sepanjang
“
26
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
2018 rata-rata peningkatan indeks harganya
sebesar 0,34% dan palawija sebesar 0,64%.
NTPP tertingi terjadi di awal tahun pada
bulan Januari bernilai 98,92% dan kemudian
mengalami penurunan yang signifikan hingga
akhir semester pertama (Juni) dengan rata-rata
tingkat penurunan sebesar 0,43%. Jika dilihat
dari tingkat perubahan NTP-nya (month-to-
month), penurunan tertinggi terjadi pada bulan
Maret dengan nilai sampai sebesar -1,32%.
Sedangkan saat dilihat berdasarkan besaran
NTP-nya, nilai NTPP terendah sepanjang tahun
2018 terjadi pada awal semester ke II (Juli)
sebesar 93,80. Hal ini diakibatkan oleh indeks
yang harus dibayar petani (Ib) bernilai 132,8,
kebutuhan konsumsi
mempunyai peran yang
cukup besar untuk
mempengaruhi turunnya
nilai NTP pada subsektor
tanaman pangan atau
dapat dikatakan bahwa
indeks harga konsumsi
rumah tangga petani
lebih tinggi jika
dibanding dengan indeks
harga biaya produksi
ataupun penambahan
barang modal.
lebih besar 8,23% dibanding dengan indeks yang
diterima petani (IT) yang hanya 123,6. Besarnya
nilai IB diakibatkan karena pada kelompok
konsumsi Rumah Tangga pengeluaran terbesar
ada di bahan makanan bernilai 136,55 dan pada
kelompok BPPBM pengeluaran terbesar ada
pada transportasi yang indeksnya mencapai
nilai 136,36. Di sisi lain NTPP pada tahun 2018
berada pada posisi terendah setelah tanaman
perkebunan rakyat, hal ini menunjukkan bahwa
NTPP dari segi produksi tidak sebaik subsektor
lain.
UntukNTUPpadasubsektortanamanpangan
dapat dikatakan masih rendah dengan nilai
rata-rata sebesar 95,84%, terjadi penurunan
nilai (month-to-month) sebesar 0,06 persen
pada tahun 2018. Hal ini menunjukkan bahwa
kebutuhan konsumsi mempunyai peran yang
cukup besar untuk mempengaruhi turunnya
nilai NTP pada subsektor tanaman pangan atau
dapat dikatakan bahwa indeks harga konsumsi
rumah tangga petani lebih tinggi jika dibanding
dengan indeks harga biaya produksi ataupun
penambahan barang modal.
106.4
106.49
105.73
104.66
104.73
105.63
104.68
104.42
103.25
103.45
102.97
102.9
118
120
122
124
126
128
130
132
88
90
92
94
96
98
100
102
104
106
108
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Indeks Harga Diterima Petani (lt) Indeks Harga Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
98.92
97.95
96.63
95.53
94.45
94.13
93.8
94.54 94.55 94.43
93.97
94.78
98.89
97.86
96.62
95.99
95.15 95.22 95.29 95.34
94.96
94.73 94.23
95.77
118
120
122
124
126
128
130
132
134
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Indeks Harga Diterima Petani (lt) Indeks Harga Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Kalimantan Tengah. 2019. Nilai Tukar Petani
Provinsi Kalimantan Tengah 2018
Diagram 3. Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani
Kalimantan Tengah 2018
Diagram 4. NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan
Kalimantan Tengah 2018
Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Kalimantan Tengah. 2019. Nilai Tukar Petani
Provinsi Kalimantan Tengah 2018
“
27
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
3.2. Kemiskinan, Konsumi dan Kalori
Garis kemiskinan di Kalimantan Tengah
sebesar Rp413.529 (Rp/kapita/bulan) pada tahun
2018 dengan rincian di perkotaan Rp387.139
dan di perdesaan sebesar Rp426.596. Mengacu
pada patokan garis kemiskinan sebesar itu,
maka di Kalimantan Tengah terdapat 136,93
ribu penduduk miskin atau sebesar 5,17%.
Berdasarkan sektor pekerjaan, golongan
miskin itu berasal dari kelompok tidak bekerja
37,16%, bukan di sektor pertanian 12,39% dan
sektor pertanian 50,45%. Sebanyak 64,07%
pengeluaran golongan miskin digunakan untuk
makanan. Dari segi persentase jumlah penduduk
miskin, terdapat 10 kabupaten/kota tertinggi di
Kalimantan Tengah sebagai berikut: Seruyan
(7,43%), Barito Timur (6,56%), Murung Raya
(6,28%), Kotawaringin Timur (6,21%), Katingan
(5,22%), Kapuas (5,20%), Gunung Mas (5,10%),
Barito Selatan (4,55%), Pulang Pisau (4,51%) dan
Kotawaringin Barat (4,27%).
PengeluaranperkapitaperbulandiKalimantan
Tengah rata-rata sebesar Rp1.224.307 yang
terbagi antara makanan dan non-makanan
berturut-turut sebesar Rp632.493 (51,66%)
dan Rp591.814 (48,34%). Berdasarkan daerah
kota dan desa, rata-rata pengeluaran per
kapita di perkotaan Rp1.414.633/bulan dan di
perdesaan Rp1.104.915/bulan. Dari persentase
total pengeluaran per kapita per bulan, bagian
pengeluaran makanan lebih besar di perdesaan
daripada di perkotaan (46,67% perkotaan
dan 55,67% perdesaan). Sebaliknya, bagian
pengeluaran non makanan lebih besar di
perkotaan daripada di perdesaan (53,33% di
perkotaan dan 44,33% di perdesaan).
Di Provinsi Kalimantan Tengah, pengeluaran
per kapita per bulan untuk pangan beras sebesar
11,5% dari rata-rata pengeluaran makanan,
dan sebesar 5,9% dari rata-rata pengeluaran
makanan dan non-makanan. Pengeluaran
beras per kapita per bulan sebanyak 6,860 kg
(setara Rp73.111) dengan rincian di perkotaan
sebanyak 5,863 kg (Rp59.657) dan di perdesaan
sebanyak 7,486 kg (Rp81.551). Konsumsi beras
per kapita per bulan lebih banyak di perdesaan
daripada di perkotaan. Dari segi konsumsi
kalori, di Kalimantan Tengah rata-rata konsumsi
kalori per kapita sehari untuk padi-padian
sebanyak 859,11 kilokalori (kkal) atau 38,39%
dari total jumlah kkal yang dikonsumsi. Secara
keseluruhan di Kalimantan Tengah sebanyak
2.181,57 kkal yang dikonsumsi per kapita per
hari berasal dari berbagai jenis makanan seperti
padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur,
susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-
buahan, minyak dan kelapa, bahan minuman,
bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan
jadi dan minuman jadi. Angka kalori sebanyak itu
lebih besar dari patokan yang ditentukan.
Berdasarkan perhitungan garis kemiskinan
Rp413.529 bahwa pendapatan per kapita
per bulan sejumlah itu, seorang penduduk di
Kalimantan Tengah akan menggunakan seluruh
pendapatannya untuk kebutuhan makan per
hari sebesar Rp13.784. Uang sejumlah itu bagi
pendudukkelasmenengahbawahbisadigunakan
untuk satu porsi nasi kuning, satu porsi mie
instan dan segelas teh atau setara dengan 2.100
kalori untuk kebutuhan fisik minimum per orang
dewasa per hari. Berdasarkan rujukan garis
kemiskinan tersebut, sebesar 54,17% dari total
Berdasarkan perhitungan
garis kemiskinan Rp413.529
bahwa pendapatan per
kapita per bulan sejumlah
itu, seorang penduduk di
Kalimantan Tengah akan
menggunakan seluruh
pendapatannya untuk
kebutuhan makan per hari
sebesar Rp13.784.
“
28
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Tengah
berada di Kabupaten Kotawaringin Barat,
Kotawaringin Timur, Kapuas, dan Seruyan (BPS
Kalteng 2018).3
Di kabupaten-kabupaten defisit
beras, seperti Kotawaringin Barat,
terdapat 4,27% penduduknya
tergolong miskin dan lebih
dari setengah penduduk
miskin bukan orang
yang bekerja di sektor
pertanian, sehingga
dapat dipastikan harus
mengakses makanan
dengan membeli. Kondisi
yang sama juga terdapat
di Kabupaten Gunung Mas
yang penduduknya masih
harus menggunakan 64,73%
daripendapatanuntukbiayamakan,
karena lebih dari setengah dari penduduk
miskin tidak bekerja di sektor pertanian. Oleh
sebab itu, angka kemiskinan di Gunung Mas
sedikit lebih tinggi dari Kotawaringin Barat,
yaitu 5,10%. Sementara itu, di Barito Timur yang
angka surplus berasnya hampir defisit, angka
kemiskinan justru meningkat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, dan paling tinggi
diantara tiga kabupaten ini, yaitu 6,56%. Dari
gambaran ketiga kabupaten yang rawan dalam
persediaan beras, kemiskinan penduduknya
terancam semakin parah, karena 2/3 dari
pendapatan penduduk sudah dihabiskan hanya
untuk makan.
3
BPS Kalteng. 2018. Potret Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2018.
29
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Lahan gambut sisa terbakar tahun 2015, terletak di eks PLG
Sejuta Hektar Kalteng.
Foto: Ridzki R. Sigit
Sumber : www.mongabay.co.id
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa
yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan
yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal.
Pasal 1 ayat 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
30
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS
SULAWESI SELATAN
8.771.070 Jiwa
Jumlah Penduduk
PERMINTAAN BERAS
Konsumsi Beras
1.006.144,96 Ton/tahun
Rata-rata konsumsi setiap penduduk
114,7 kg/kapita/tahun atau 0,1147 ton/
kapita/tahun
PASOKAN BERAS
Luas Panen
1.155.702 Ha
Produksi GKG
5.804.947 ton/tahun
setara Beras 3.313.944 Ton/Tahun
dengan nilai konversi GKP ke
Beras rata - rata 57,09%
=
KATEGORI
DEFISIT
< 0,0860 - 0,1146 Ton Kapita/Tahun
CUKUP
0,1147 - 0,1434 Ton Kapita/Tahun
SURPLUS
0,1435 - di atas 0,1721 Ton Kapita/Tahun
KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA
1.	 Kep Selayar
2.	 Makasar (Kota)
3.	 Pare - Pare (Kota)
4.	 Palopo (Kota)
1.	 Bulukumba
2.	 Bantaeng
3.	 Jeneponto
4.	 Takalar
5.	 Gowa
6.	 Sinjai
7.	 Maros
8.	 Pangkep
9.	 Barru
10.	Bone
Grafik Pasokan Beras di Sulawesi
Selatan Tahun 2018
Perorang/Ton/Kapita/Tahun
2018
0.0003
0.2979
0.2805
0.3985
0.2684
0.2175
0.2929
0.3633
0.2344
0.4688
0.7716
0.7192
1.2464
0.9555
0.8805
0.1637
0.4611
0.2281
0.2876
0.3707
0.2574
0.0052
0.0307
0.0707
0.3778
Kep.Selayar
Bulukumba
Bantaeng
Janeponto
Takalar
Gowa
Sinjai
Maros
Pangkep
Barru
Bone
Soppeng
Wajo
Sidrap
Pinrang
Enrekang
Luwu
TanaToraja
LuwuUtara
LuwuTimur
TorajaUtara
Makasar/Kota
ParePare/Kota
Palopo/Kota
SulawesiSelatan11.	 Soppeng
12.	Wajo
13.	Sidrap
14.	Pinrang
15.	Enrekang
16.	Luwu
17.	Tana Toraja
18.	Luwu Utara
19.	Luwu Timur
20.	Toraja Utara
31
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN
SULAWESI SELATAN 2018
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian
1.015.232 RTUP
596.427 RTUP yang
mengusahakan tanaman padi.
Penggunaan Lahan
985.088 RTUP
Terdapat kenaikan rumah tangga petani
gurem dari sebanyak 7,78 % dari
338.108 (2013) menjadi 364.426
(2018)
Penguasaan Lahan
Rata - Rata 23.156,57 m2
tahun 2013 yang rata-rata seluas
30.980,60 m2
, Terdapat sebanyak
341.933 RTUP penguasaan lahan
pertanian sebesar Luas < 0,50 Ha
TINGKAT KESEJAHTERAAN
Nilai Tukar Petani
Rata - Rata NTP Sub Sektor
Tanaman Pangan 99.45
dari Januari - Desember 2018
It atau Indeks harga yang diterima
petani rata - rata 134,99 lebih
kecil dengan rata - rata lb atau
indeks harga yang dibayar petani
yang nilainya 135,74
Rp
Penduduk Golongan Miskin
792,64 ribu Jiwa
Pekerjaan Golongan Miskin :
45,08% Tidak Bekerja
20,32% Bukan Pertanian
34,60% Pertanian
32
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 5. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 Kementerian Pertanian
Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung
pangan nasional sejak berdekade lalu tentu saja
harus memiliki status tahan pangan dan memiliki
surplus untuk distribusi nasional, sebagaimana
digambarkan pada peta ketahananan dan
kerentanan pangan di atas (Kementerian
Pertanian 2019). Namun demikian, dengan
analisis Pasokan-Permintaan ditemukan kondisi
defisit di satu kabupaten kepulauan dan
beberapa kota. Telaah lebih lanjut mengenai
wilayah-wilayah defisit ini menunjukkan kondisi
ibarat tikus mati di lumbung beras, karena
kondisi defisit beras tersebut diiringi pula oleh
defisit kesejahteraan. Selain itu, analisis terhadap
kondisi petani dan penguasaan lahan pertanian
juga menunjukkan kecenderungan pada
penurunan kesejahteraan petani yang ditandai
oleh peningkatan jumlah petani gurem dan NTP
yang sangat fluktuatif di Sulawesi Selatan.
1. Pasokan-Permintaan Pangan
Sulawesi Selatan memiliki luas panen
pada tahun 2018 seluas 1.155.702 ha dan
menghasilkan 5.804.976 ton GKG (dengan rata-
rata tingkat produktivitas 5.02 ton/ha) atau
setara beras 3.313.944 ton. Jumlah produksi
beras tersebut mampu menyediakan beras untuk
setiap penduduk di tahun 2018 yang berjumlah
8.771.070 jiwa sebanyak 377,8 kg/kapita/
tahun. Jumlah ini 3 kali lebih besar dari rata-
rata konsumsi beras setiap penduduknya dalam
satu tahun. Oleh sebab itu, Sulawesi Selatan
dapat menjadi sumber pasokan beras secara
nasional. Hal ini juga ditandai oleh konsistennya
produktivitas lahan produksi padi di 24 provinsi
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, karena
hanya satu wilayah kabupaten mengalami defisit
produksi beras yaitu Kabupaten Kepulauan
33
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Selayar. Bisa dipahami jika semua wilayah
administrasi kota mengalami defisit produksi
beras, tentunya karena tidak lagi memiliki lahan
sawah untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
Sawah yang ada di Sulawesi Selatan (Sulsel)
dibagi menjadi dua berdasarkan jenisnya,
yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka walaupun
luas lahan sawah di Sulsel mencapai 663.254
ha, namun luas sawah panen di Sulsel mencapai
995.335 ha per tahun. Kemudian dari luas
lahan sawah yang ada saat ini, baik sawah baku
maupun sawah panen, produksi beras di Provinsi
Sulawesi Selatan mencapai 5.292.151 ton per
Kabupaten/ Kota
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)*
Permintaan (Permintaan) Pasokan (Ketersedian)
KeteranganKonsumsi
Beras Per
orang/ kap/
tahun (ton)**
Kebutuhan
beras (ton)
Luas
Panen
(Ha)*
Produksi
GKG
(Ton)*
Produkti-
vitas (Ton/
ha)
Produksi Padi
Setara Beras
(Ton)*
Pasokan
Beras
(Ton)
Nilai Kon-
versi GKG
ke Beras
(%)
Kep. Selayar 134.280 0,1147 15.401,92 15 69 4,60 40 0,0003 57,97 defisit
Bulukumba 418.326 0,1147 47.981,99 43.121 218.259 5,06 124.602 0,2979 57,09 surplus
Bantaeng 186.612 0,1147 21.404,40 18.043 91.688 5,08 52.341 0,2805 57,09 surplus
Jeneponto 361.793 0,1147 41.497,66 45.365 252.519 5,57 144.158 0,3985 57,09 surplus
Takalar 295.892 0,1147 33.938,81 32.707 139.125 4,25 79.423 0,2684 57,09 surplus
Gowa 760.607 0,1147 87.241,62 56.752 289.731 5,11 165.401 0,2175 57,09 surplus
Sinjai 242.672 0,1147 27.834,48 25.238 124.494 4,93 71.071 0,2929 57,09 surplus
Maros 349.822 0,1147 40.124,58 47.940 222.640 4,64 127.102 0,3633 57,09 surplus
Pangkep 332.674 0,1147 38.157,71 31.013 136.567 4,40 77.963 0,2344 57,09 surplus
Barru 173.623 0,1147 19.914,56 26.461 142.591 5,39 81.402 0,4688 57,09 surplus
Bone 754.894 0,1147 86.586,34 211.851 1.020.365 4,82 582.507 0,7716 57,09 surplus
Soppeng 226.770 0,1147 26.010,52 53.365 285.687 5,35 163.093 0,7192 57,09 surplus
Wajo 396.810 0,1147 45.514,11 187.657 866.344 4,62 494.579 1,2464 57,09 surplus
Sidrap 299.123 0,1147 34.309,41 85.787 500.650 5,84 285.808 0,9555 57,09 surplus
Pinrang 374.583 0,1147 42.964,67 96.809 577.741 5,97 329.821 0,8805 57,09 surplus
Enrekang 204.827 0,1147 23.493,66 11.263 58.745 5,22 33.537 0,1637 57,09 surplus
Luwu 359.209 0,1147 41.201,27 59.157 290.122 4,90 165.625 0,4611 57,09 surplus
Tana Toraja 232.821 0,1147 26.704,57 21.218 93.007 4,38 53.096 0,2281 57,09 surplus
Luwu Utara 310.470 0,1147 35.610,91 32.781 156.392 4,77 89.281 0,2876 57,09 surplus
Luwu Timur 293.822 0,1147 33.701,38 35.710 190.793 5,34 108.919 0,3707 57,09 surplus
Toraja Utara 229.798 0,1147 26.357,83 25.704 103.600 4,03 59.144 0,2574 57,09 surplus
Makassar/Kota 1.508.154 0,1147 172.985,26 2.844 13.734 4,83 7.841 0,0052 57,09 defisit
Parepare/Kota 143.710 0,1147 16.483,54 1.342 7.737 5,77 4.417 0,0307 57,09 defisit
Palopo/Kota 180.678 0,1147 20.723,77 3.559 22.376 6,29 12.773 0,0707 57,09 defisit
Sulawesi Selatan 8.771.970 0,1147 1.006.144,96 1.155.702 5804.976 5,02 3.313.944 0,3778 57,09 surplus
tahun. Artinya, rata-rata produksi beras di Sulsel
setiap hektare mencapai 7,98 ton per tahun, di
mana Kabupaten Bone, Wajo dan Pinrang masih
berada di posisi atas sebagai daerah produsen
pangan terbesar di Sulawesi Selatan.
Sementara daerah yang paling kecil
memproduksi pangan yakni Kota Parepare, Kota
Makassar dan Kabupaten Kepulauan Selayar.
Sempitnya luas panen di Kabupaten Kepulauan
Selayar berdampak pada tingginya nilai defisit
produksi beras yang mencapai 99,74%. Agar
mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras,
maka dibutuhkan luas panen 5.777,72 ha atau
385 kali dari luas panen pada tahun 2018. Jika
Sumber : * Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka 2019 (BPS).
** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian)
Tabel 3. Analisis Pasokan-Permintaan Produksi Beras di Sulawesi Selatan 2018
34
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
dilihat dari penggunaan lahan, sebesar 20,13%
wilayah Kepulauan Selayar masih berupa
kawasan hutan dan di sisi lain sebesar 31,01%
sudah dalam bentuk IUP. Sementara untuk
kabupaten yang dinyatakan surplus diantaranya
Kabupaten Enrekang, namun surplus di Enrekang
sangat berpotensi untuk menjadi defisit karena
surplusnya dibawah 50% atau hanya 42,72%.
Indekspenanamanyanghanya1,054
sertatingkat
produktivitas tanaman padi di Enrekang juga
dibawah rata-rata produktivitas tanaman padi
di Provinsi Sulsel, dan juga yang harus menjadi
catatan bahwa 63.76% wilayah Enrekang berada
pada kawasan hutan serta 7,38% sudah berupa
IUP (lihat Tabel 15 pada bab selanjutnya).
4
Indeks Penanaman (IP) adalah rata-rata masa tanam dalam satu tahun,
rumusnya; Luas Tanam dalam satu tahun/Luas Baku Sawah (Data luas baku Sawah
berdasarkan penggunaan lahan yang terdapat di RTRW Provinsi Sulteng tahun
2017)
Gambar 7. Peta Kerawanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan
Jika dilihat dari besaran konsumsi beras, Kota
Makassar merupakan daerah dengan kebutuhan
beras terbesar mengacu pada jumlah penduduk
1.508.154 jiwa. Pada tahun 2018 kebutuhan
konsumsi beras mencapai 172.985,26 ton/tahun,
sehingga diperlukan luas panen 62.743,28 ha
untuk memproduksi target kebutuhan tersebut.
Namun dengan kondisi luas panen 2.844 ha
saja, produksi padi setara beras mencapai 7.841
ton. Konsekuensinya, kemampuan memasok
kebutuhan beras setiap penduduknya 5,199 kg/
tahun. Berdasarkan data yang diperoleh SLPP
Makassar, setiap tahun sawah-sawah yang
masih tersisa di Kota Makassar hanya mampu
memproduksi beras sekitar 12.490 ton per
tahun. Sementara kebutuhan beras warga Kota
Makassar mencapai 164.940 ton per tahun.
Bila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi
beras Provinsi Sulawesi Selatan, maka defisitnya
sebesar 95,47%. Maka untuk menutupi selisih
kebutuhan beras, harus diperoleh dari berbagai
daerah lainnya. Kondisi ini tentu saja membuat
harga beras di Kota Makassar mengalami kenaikan.
35
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Selain Kota Makassar dan Parepare, Kota
Palopo merupakan kota yang memiliki luas
lahan panen lebih luas atau 45,95% dari luas
keseluruhan luas lahan panen untuk wilayah
administrasi kota. Walaupun dengan jumlah
penduduk yang lebih besar dibandingkan
dengan Kota Parepare namun tingkat defisit
beras di Kota Palopo sebesar 38,37%, lebih
kecil dibandingkan dengan Parepare yang
tingkat defisitnya 73,20%. Di Kota Palopo luas
lahan sawah hanya 7,23% dari luas wilayah
administrasi, dan kondisi ini berbanding terbalik
dengan area konsensi di Kota Palopo seluas
43,58%, yang didominasi 95,07% berupa IUP
(lihat Tabel 15 pada bab selanjutnya).
Dari sisi pasokan, harga gabah di Sulawesi
Selatan terbilang rendah. Satu kilogram gabah
dijual oleh petani antara Rp3.500 sampai
Rp4.000. Kebanyakan pengusaha beras
sekaligus pengumpul gabah di Sulsel berada
di Kabupaten Bone, Wajo, Sidrap, Pirang
dan Parepare. Namun ada juga gabah petani
yang dibeli oleh Bulog namun tidak sebesar
pengumpul. Setelah semua gabah petani terbeli
dan terkumpul di gudang pengumpul, para
pengusaha/pedagang kemudian menjual beras
tersebut ke berbagai daerah di Sulsel hingga ke
berbagai provinsi di Indonesia.
Menurut informasi yang kami peroleh,
pengusaha beras di Sulsel telah memiliki relasi
bisnis dengan pengusaha di daerah lain seperti
Ambon dan Surabaya, maupun di provinsi lain
sepertidiSulawesiTenggara,KalimantanSelatan,
NTT, hingga Papua. Selain itu, pemerintah
provinsi Sulawesi Selatan juga memiliki badan
usaha milik daerah atau perusahaan daerah yang
bergerak di sektor pangan. Perusahaan daerah
ini juga menghimpun dan membeli beras petani
di desa-desa di Sulsel. Setelah itu, mereka jual
beras-beras tersebut ke Perusahaan Daerah
milik pemerintah provinsi lain seperti DKI
Jakarta, dan Pemerintah Daerah Sorong Papua.
2. Petani dan Lahan Pertanian
Jumlah petani di Sulawesi Selatan sebanyak
1.161.692 orang yang terdiri atas laki-laki
960.774 orang dan perempuan 200.918 orang.
Keberadaan petani di Sulawesi Selatan itu
menyumbang 3,46% terhadap jumlah petani
di Indonesia. Dari sebanyak 1.015.232 RTUP
di Sulawesi Selatan, terdapat 596.427 RTUP
yang mengusahakan di subsektor tanaman
pangan padi, dan sebanyak 288.877 RTUP di
subsektor tanaman pangan palawija. Jumlah
RTUP yang lain berada di subsektor hortikultura,
perkebunan, peternakan (ternak pangan dan
ternak non-pangan), perikanan (budidaya ikan
dan penangkapan ikan), kehutanan (budidaya
tanaman kehutanan dan kehutanan lainnya) dan
jasa penunjang pertanian. Dari 1.015.232 RTUP
itu pula, terdapat 484.911 RTUP atau 47,76% yang
usaha utamanya adalah tanaman pangan padi.
Dari usaha utama itu, sebanyak 387.054 RTUP
atau 79,81% yang mengandalkan sebagai sumber
penghasilan utama dari subsektor tanaman
pangan padi, dan selebihnya, sebanyak 97.857
RTUP atau 20,19% yang tidak mengandalkan
subsektor tanaman pangan padi sebagai sumber
penghasilan utama.
Di Sulawesi Selatan pada tahun 2018 terdapat
1.015.232 RTUP, yang pengguna lahan sebanyak
Dari sisi pasokan, harga gabah
di Sulawesi Selatan terbilang
rendah. Satu kilogram gabah
dijual oleh petani antara
Rp3.500 sampai Rp4.000.
Kebanyakan pengusaha beras
sekaligus pengumpul gabah
di Sulsel berada di Kabupaten
Bone, Wajo, Sidrap, Pirang
dan Parepare. Namun ada juga
gabah petani yang dibeli oleh
Bulog namun tidak sebesar
pengumpul.
“
36
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
985.088 dan lainnya bukan pengguna lahan.
RTUP pengguna lahan tahun 2018 naik 3.67%
menjadi 950.241 dari tahun 2013. Peningkatan
itu diikuti oleh kenaikan jumlah rumah tangga
petani gurem sebesar 7,78 % sehingga dari
jumlah 338.108 (2013) naik menjadi 364.426
(2018). Kenaikan jumlah petani gurem ini
seringkali diikuti dengan penurunan luas lahan.
Pada tahun 2018, luas lahan (pertanian dan non-
pertanian) yang dikuasai RTUP rata-rata seluas
23.156,57 m2.
Jumlah ini lebih kecil daripada
tahun 2013 yang rata-rata seluas 30.980,60 m2
.
Untuk lahan pertanian saja, pada tahun 2018
3. Tingkat Kesejahteraan
3.1. Nilai Tukar Petani (NTP)
Rata-rata NTP Gabungan (tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan rakyat, pertenakan,
perikanan, perikanan tangkap dan perikanan
budidaya) di tahun 2018 besarannya 102,96 lebih
tinggi 1,43% dibandingkan rata-rata NTP tahun
2017 yang nilai rata-ratanya 100,85. Tingginya
nilai NTP gabungan ditopang oleh tingginya 3
(tiga) subsektor peternakan, hortikultura dan
perikanan budidaya, sedangkan untuk NTP
terendah ada di subsektor perkebunan rakyat
yang nilainya 96,16% berikutnya ada di subsektor
tanaman pangan nilainya masih dibawah 100,
yaitu 99,45%, dimana indeks yang dibayar petani
untuk konsumsi rumah tangga serta BBPBM
(Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal)
yang nilainya 135,74% lebih besar 0,75% jika
dibandingkan dengan nilai Indeks yang diterima
petani (IT) dari kelompok tanaman padi dan
palawija yang nilainya sebesar 134,99%.
NTP subsektor tanaman pangan (NTPP)
sepanjang tahun 2018 cenderung fluktuatif
setiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa
secara umum NTPP sangat rentan terhadap laju
pertumbuhan barang dan jasa di pasaran. Pada
semester pertama (Januari-Juni) 2018 rata-rata
NTPP 98,95 dengan rata-rata pertumbuhan
negatif 0,23. Penurunan signifikan terjadi pada 4
(empat) bulan berturut-turut dari bulan Febuari
hingga bulan Mei dari -97%, -0,61%, -0,72%,
-0,95%. Tingginya penurunan indeks NTPP pada
bulan Febuari diakibatkan oleh turunnya indeks
yang diterima petani (IT) -0,22. Penurunan
signifikan terjadi pada kelompok tanaman
palawija hingga -1.55% dan untuk kelompok
tanamanpadihanyanaik0,44%.Sedangkanpada
lB (indeks yang dibayar petani) terjadi kenaikan
hingga 1,21%, pada kelompok pengeluaran
Konsumsi Rumah Tangga. Pengeluaran terbesar
ada pada pengeluaran bahan makanan yang
nilainya mencapai 150,16 dan pada kelompok
BPPBM (Biaya Produksi dan Penambahan
RTUP menguasai rata-rata seluas 20.363,61 m2
(sawah 2.227,00 m2
dan non-sawah 18.136,61 m2
)
sedangkan pada tahun 2013 seluas 30.202,03
m2
(sawah 2.524,13 m2
dan non-sawah 27.677,9
m2
). Berdasarkan kategori penguasaan lahan
pertanian (ha) di Sulawesi Selatan, maka
sebarannya sebagai berikut: (1) Luas < 0,50
sebanyak 341.933; (2) Luas 0,50-0,99 sebanyak
234.043; (3) Luas 1,00-1,99 sebanyak 230.101;
(4) Luas 2,00-2,99 sebanyak 83.238; (5) Luas
3,00-3,99 sebanyak 31.430; (6) Luas 4,00-4,99
sebanyak 13.760; (7) Luas 5,00-9,99 sebanyak
14.946; dan (8) Luas ≥ 10,00 sebanyak 2.368.
Kategori luas < 0,50 ha sebesar 35,92% RTUP
dan ≥ 10,00 ha sebanyak 0,25% RTUP.
Kenaikan jumlah petani
gurem seringkali diikuti
dengan penurunan luas
lahan.
“
37
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Barang & Modal) pengeluaran terbesar ada
pada transportasi yang nilainya 134,58 dan pada
semester kedua (Juli-Desember) rata-rata NTPP
sebesar 116,48. Apabila dibandingkan dengan
semester I, tingkat kesejahteraan petani pada
semester I lebih rendah daripada kondisinya di
semester ke II.
101.52
101.01
101.33
101.91
103.31
103.14
102.15
101.97
102.08
102.3
103.32
103.31
112.36
112.39
112.68
113.14
114.72 115.02 114.4
114.11 113.77 113.59
114.57 114.56
124
126
128
130
132
134
136
138
140
90
95
100
105
110
115
120
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES
Indeks Harga yg Diterima Petani (It) Indeks Harga yg DibayarPetani (Ib) NTP NTUP
100.79
99.82
99.21
98.49
97.54
97.82
97.53
97.97
98.98
100.68
102.31
102.25
109.83
109.21
108.66
107.66
106.76
107.6
107.72 108.17
108.77
110.17
111.94 111.79
126
128
130
132
134
136
138
140
142
90
95
100
105
110
115
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES
Indeks Harga yg Diterima Petani (lt) Indeks Harga Yg Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
Diagram 5. Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani
Sulawesi Selatan 2018
Diagram 6 NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan
Sulawesi Selatan 2018
Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Sulawesi Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani
Provinsi Sulawesi Selatan 2018
Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Sulawesi Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani
Provinsi Sulawesi Selatan 2018
Dengan demikian, sebagaimana digambarkan
pada Diagram 5 dan 6, sepanjang tahun
2018, petani tanaman pangan di Sulawesi
Selatan mengalami tingkat kesejahteraan yang
fluktuatif dan diombang-ambingkan oleh harga
kebutuhan harian dan modal produksi yang
harus dipenuhinya.
Salah satu aspek yang menyumbang
pada volatilitas pendapatan petani tanaman
pangan adalah rantai pasok yang panjang.
Dari wawancara dengan petani padi di wilayah
yang paling besar memproduksi pangan beras
mengenai jalur distribusi pangan di Sulawesi
Selatan, hampir semua menjelaskan bahwa hasil
produksi petani rata-rata dijual ke pengumpul. Di
lain tempat, terkhusus bagi petani sawah tadah
hujan, kebanyakan dari mereka tidak menjual
hasil panen mereka. Mereka menyimpannya
untuk stok pangan keluarga.
3.2. Kemiskinan, Konsumsi dan Kalori
Golongan miskin di Sulawesi Selatan pada
tahun 2018 berjumlah 792,64 ribu orang (9,06%)
dengan garis kemiskinan Rp306.545 (Bln/Kap).
Kemiskinan di perkotaan sebesar Rp314.549,
sedangkan di perdesaan sebesar Rp299.917.
Pekerjaan golongan miskin ini berasal dari
tidak bekerja 45,08%, bukan pertanian 20,32%
dan pertanian 34,60%. Pengeluaran per kapita
sebulan di Sulawesi Selatan rata-rata sebesar
Rp1.016.244 yang terbagi dalam makanan
(Rp495.465) dan non-makanan (Rp520.779).
Berdasarkan daerah kota dan desa, pengeluaran
per kapita per bulan lebih tinggi di perkotaan
(Rp1.305.899) daripada di perdesaan (809.343).
Bila digambarkan dalam persentase pengeluaran
untuk makanan dan non makanan, maka di
perkotaan sebesar 45,46% makanan dan 54,54%
non makanan, dan di perdesaan sebesar 52,55%
makanan dan 47,45% non makanan. Pengeluaran
di perdesaan rata-rata lebih banyak digunakan
untuk makanan sedangkan penggunaan di
perkotaan lebih besar untuk non-makanan.
Pengeluaran per kapita per bulan untuk
pangan beras rata-rata sebesar 7,680 kg yang
setara nilai Rp58.780. Di Sulawesi Selatan total
pengeluaran beras sebesar 11,8% dari total
pengeluaran makanan, dan sebesar 5,7% dari
total pengeluaran makanan dan non makanan.
Dari konsumsi pangan padi tersebut, rata-rata
konsumsi per kapita sehari dari padi-padian
sebesar 993,34 kilokalori (kkal). Bila diperinci
berdasarkan kelompok padi-padian tersebut,
pada tingkat nasional konsumsi kalori per kapita
sehari untuk beras sebanyak 800,22 kkal, beras
ketan 2,52 kkal, dan padi-padian lainnya 0,91
38
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
kkal. Di Sulawesi
Selatan rata-rata
konsumsi kalori per
kapitaseharisebanyak
2.183,61 kkal. Kalori
tersebut tidak hanya
berasal dari beras
atau padi-padian
tapi juga dari jenis
pangan lainnya. Tentu
saja sumber kalori
terbesar masih berasal
dari padi-padian
(45,49%) termasuk
beras dibandingkan
dari sumber pangan
lainnya.
Di Sulawesi
Selatan kabupaten
dengan tingkat
kemiskinan yang
menempati 7 teratas sebagai berikut: Jeneponto
(15,48%), Pangkep (15,10%), Luwu Utara
(13,69%), Toraja Utara (13,37%), Luwu (13,36%),
Kepulauan Selayar (13,13%), dan Enrekang
(12,49%). Kabupaten/Kota yang mengalami
defisit di Sulawesi Selatan meliputi Kepulauan
Selayar, Kota Makassar, Kota Parepare, dan
Kota Palopo. Sebagai kabupaten yang terhitung
rawan pasokan beras, Kepulauan Selayar
memiliki angka kemiskinan 13%, dan berada
di atas rata-rata provinsi (9,38%). Artinya,
ada 13% penduduk di Kepulauan Selayar yang
pendapatannya Rp306.545 atau kurang, yang
sebagian besar atau semua pendapatannya
dihabiskan untuk kebutuhan kalori minimum
per hari. Dari persentase penduduk miskin ini,
di Kepulauan Selayar 45% tidak bekerja dan
30,50% bekerja di pertanian. Di Kota Makassar
dan Kota Parepare kemiskinan sebanyak 4,41% dan
5,59%. Di dua kota tersebut jumlah golongan miskin
berdasarkan pekerjaan disumbangkan oleh tidak
bekerja (Kota Makassar 52,94% dan Kota Parepare
53,01%) bukan pertanian (Kota Makassar 2,33%
dan Kota Parepare 0,28%) dan pertanian (Kota
Makassar 44,73% dan
Kota Parepare 46,71%).
Dengan tingkat
kemiskinan demikian,
akan semakin
rawan kondisi akses
terhadap pangan bagi
masyarakat miskin
di kabupaten/kota
karena mereka yang
miskin dan tidak
bekerjaakanmengarah
kepada kondisi
kelaparan kronis, jika
tidak ditanggulangi.
Sementara itu,
distribusi pangan ke
wilayah kota, seperti
Makassar, lebih
banyak diperankan
oleh pedagang/
pengusaha lokal. Pengusaha tersebut membeli
beras di pengumpul yang tersebar di beberapa
kabupaten, lalu menjualnya ke pedagang pasar,
maupun ke usaha-usaha lain seperti rumah
makan dan hotel. Maka sudah dipastikan bahwa
harga beras di Kota Makassar naik 25 % dari
harga jual di kabupaten.
Dengan demikian, berdasarkan informasi dan
penelusuran yang dilakukan oleh SLPP Makassar
sejak Maret-Mei 2020, memperlihatkan bahwa
lebih dari 60 persen hasil produksi beras Sulsel
didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat di provinsi lain, baik di
Pulau Sulawesi maupun di luar Pulau Sulawesi.
Berdasarkan sejumlah informasi tersebut, para
pengusaha/pengumpul beras lah yang paling
banyak mendapatkan keuntungan dari produski
beras di Sulawesi Selatan. Padahal, di daerah-
daerah penghasil beras telah terjadi kenaikan
proporsi petani gurem, serta NTP yang sangat
fluktuatif sebelum pandemi, yang menandakan
bahwa kondisi kesejahteraan petani di Sulawesi
Selatan semakin mengarah pada penurunan,
meskipun berada di lumbung padi nasional
Berdasarkan informasi dan penelusuran
yang dilakukan oleh SLPP Makassar
sejak Maret-Mei 2020, memperlihatkan
bahwa lebih dari 60 persen hasil
produksi beras Sulsel didistribusikan
untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat di provinsi lain, baik di
Pulau Sulawesi maupun di luar Pulau
Sulawesi. Berdasarkan sejumlah
informasi tersebut, para pengusaha/
pengumpul beras lah yang paling banyak
mendapatkan keuntungan dari produksi
beras di Sulawesi Selatan.
“
39
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Proses penjemuran gabah di Desa Simbang
Kabupaten Maros.
Doc SLPP Makasar
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen
dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas
Konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
40
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Bab
Empat
Konversi Lahan Pertanian,
Tumpang-Tindih Konsesi
dan
Kerawanan Pangan.
D
alam perspektif kedaulatan pangan, untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi per kapita/tahun secara mandiri baik di tingkat provinsi
maupun di tingkat kabupaten/kota, maka target produksi harus
tercapai sesuai dengan kebutuhan jumlah konsumsi penduduk.
Bahkan jika memungkinkan produksi digenjot melebihi target dan batas
kebutuhan konsumsi penduduk dalam kerangka menjaga harga pangan
stabil dan pasokan pangan aman dalam periode waktu tertentu. Pencapaian
target produksi tersebut harus didukung di antaranya oleh luas lahan sawah
yang memadai untuk menghasilkan produksi pangan beras.
Bab ini akan memberi gambaran bahwa kondisi lahan sawah di beberapa
kabupaten/kota di tiga provinsi menghadapi ancaman baik potensial maupun
nyata dalam penyusutan luas lahan sawah. Ancaman itu di antaranya
dengan merebaknya sebaran perizinan untuk pertanian non-pangan dan
non-pertanian khususnya di lokasi lahan untuk pangan. Kondisi lahan sawah
yang tetap dan produksi yang stagnan juga berpotensi menemui ancaman
di masa depan dengan peningkatan jumlah penduduk secara eksponensial.
Melihat gejala dari kondisi di atas beserta dinamika yang menyertainya,
maka kerawanan pangan diprediksi menjadi ancaman baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
41
Konversi Lahan Pertanian, Tumpang-Tindih Konsesi dan Kerawanan Pangan
Provinsi Sumatera Selatan
1. Konversi Lahan Sawah dan
Kehilangan Produksi Beras
Pada tahun 2015 luas baku sawah di Sumatera
Selatan sebesar 774.502 ha (8,88%) yang
kemudian menyusut menjadi 470,739 ha (5,40%)
pada tahun 2020. Luas penyusutan lahan baku
sawah selama 5 tahun mencapai 303.763 ha
dengan rata-rata tingkat penyusutan per tahun
sebesar 60.753 ha (Tabel 4). Konsekuensi dari
penyusutan lahan seluas 303.763 ha tersebut
terdapat kehilangan 769.178,32 ton beras
dengan produktivitas 5,174 ton/ha atau rata-
rata kehilangan 208.678,70 ton beras per tahun
selama lima tahun (2015-2020) sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 5. Luas lahan baku
sawah terluas terletak di Banyuasin (29,25%
pada 2015 dan 35,81% pada 2020 dari total luas
baku sawah) disusul OKI (24,02% di tahun 2015
dan 21,38% di tahun 2020) dengan rata-rata
penyusutan masing-masing kabupaten itu seluas
11.589 ha/tahun dan 17.071 ha/tahun. Luas baku
sawah terkecil terletak di Prabumulih (0,09%
tahun 2015 dan 0,01% tahun 2020) disusul
Lubuk Linggau (0,24% tahun 2015 dan 0,26%
tahun 2020) dengan rata-rata penyusutan
masing-masing 127 ha/tahun dan 135 ha/tahun.
Dari segi proporsi luas baku sawah terhadap
luas administrasi kabupaten/kota, maka
diperoleh luas baku sawah terluas terdapat
di Ogan Komering Ilir atau OKI (28,26%) dan
Ogan Komering Ulu Timur atau OKU Timur
(25,09%) pada 2015. Pada 2020 terdapat sedikit
perubahan, luas baku sawah terluas di OKU
Timur (16,95%) dan Banyuasin (15,19%). Ogan
Komering Ilir mengalami penyusutan rata-rata
sebesar 7,467 ha/tahun, dan OKU Timur sebesar
5,555 ha/tahun selama lima tahun. Penyusutan
sawah yang lebih tinggi di OKI dibandingkan
OKU Timur kemungkinan menjadi penyebab
bergesernya peringkat tertinggi luas baku sawah
Sumsel dari OKI ke OKU Timur.
Luas baku sawah tersempit atas luas
administrasi terdapat di Musi Rawas Utara dan
Prabumulih dengan perbedaan tingkat pada
tahun yang berbeda, secara berurutan 1,22% dan
1,72% di tahun 2015 dan 0,38% dan 0,16% tahun
2020. Rata-rata penyusutan selama lima tahun
di Musi Rawas 977 ha/tahun dan Prabumulih
127 ha/tahun. Bila diurutkan berdasarkan
persentase luas baku sawah terluas terhadap
luas administrasi kabupaten tahun 2020, maka
diperoleh enam kabupaten, yaitu: Prabumulih
(0,16%), Musi Rawas Utara (0,38), OKU (1,08%),
OKU Selatan (1,65%), Musi Rawas (2,08%), dan
PALI (2,35%).
Kondisi lahan sawah di beberapa kabupaten/kota di tiga
provinsi menghadapi ancaman baik potensial maupun
nyata dalam penyusutan luas lahan sawah. Ancaman itu
di antaranya dengan merebaknya sebaran perizinan untuk
pertanian non-pangan dan non-pertanian khususnya di lokasi
lahan untuk pangan. Kondisi lahan sawah yang tetap dan
produksi yang stagnan juga berpotensi menemui ancaman
di masa depan dengan peningkatan jumlah penduduk secara
eksponensia
“
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani

More Related Content

What's hot

bahan materi p2l.pptx
bahan materi p2l.pptxbahan materi p2l.pptx
bahan materi p2l.pptxPKMBKL
 
Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap BangunKawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangunindwirahma
 
PPT SEMINAR PROPOSAL DZUHRI
PPT SEMINAR PROPOSAL DZUHRIPPT SEMINAR PROPOSAL DZUHRI
PPT SEMINAR PROPOSAL DZUHRIDzuhri06
 
EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI
EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASIEKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI
EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASIAna Puja Prihatin
 
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan LingkunganPembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan LingkunganYuni Yolanda
 
Sni 6729 2010 sistem pangan organik
Sni 6729 2010 sistem pangan organikSni 6729 2010 sistem pangan organik
Sni 6729 2010 sistem pangan organikAchmad Wahid
 
Masalah Perkebunan di Indonesia
Masalah Perkebunan di IndonesiaMasalah Perkebunan di Indonesia
Masalah Perkebunan di IndonesiaHeri Saputra
 
Kebijakan perikanan indonesia
Kebijakan perikanan indonesiaKebijakan perikanan indonesia
Kebijakan perikanan indonesiaShanti Paramita J
 
Penyusunan programa pp
Penyusunan programa ppPenyusunan programa pp
Penyusunan programa ppwika_wibowo
 
Analisis LQ, DLQ, SS, dan klassen di provinsi riau
Analisis LQ, DLQ, SS, dan klassen di provinsi riauAnalisis LQ, DLQ, SS, dan klassen di provinsi riau
Analisis LQ, DLQ, SS, dan klassen di provinsi riauOpissen Yudisyus
 
Geografi - Alih Fungsi Lahan
Geografi - Alih Fungsi LahanGeografi - Alih Fungsi Lahan
Geografi - Alih Fungsi LahanRania Afifa Dewi
 
laporan perencanaan kehutanan
laporan perencanaan kehutananlaporan perencanaan kehutanan
laporan perencanaan kehutananabdul gonde
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEDIS BLOG
 
Pengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Aset DaerahPengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Aset DaerahDadang Solihin
 
Menyusun materi penyuluhan
Menyusun materi penyuluhanMenyusun materi penyuluhan
Menyusun materi penyuluhanwika_wibowo
 

What's hot (20)

bahan materi p2l.pptx
bahan materi p2l.pptxbahan materi p2l.pptx
bahan materi p2l.pptx
 
Sumber daya alam
Sumber daya alamSumber daya alam
Sumber daya alam
 
Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap BangunKawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
 
PPT SEMINAR PROPOSAL DZUHRI
PPT SEMINAR PROPOSAL DZUHRIPPT SEMINAR PROPOSAL DZUHRI
PPT SEMINAR PROPOSAL DZUHRI
 
Agribisnis bawang merah
Agribisnis bawang merahAgribisnis bawang merah
Agribisnis bawang merah
 
EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI
EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASIEKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI
EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI
 
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan LingkunganPembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan
 
Sni 6729 2010 sistem pangan organik
Sni 6729 2010 sistem pangan organikSni 6729 2010 sistem pangan organik
Sni 6729 2010 sistem pangan organik
 
Daya Dukung Lahan
Daya Dukung LahanDaya Dukung Lahan
Daya Dukung Lahan
 
Masalah Perkebunan di Indonesia
Masalah Perkebunan di IndonesiaMasalah Perkebunan di Indonesia
Masalah Perkebunan di Indonesia
 
Kebijakan perikanan indonesia
Kebijakan perikanan indonesiaKebijakan perikanan indonesia
Kebijakan perikanan indonesia
 
Penyusunan programa pp
Penyusunan programa ppPenyusunan programa pp
Penyusunan programa pp
 
Manajemen agribisnis
Manajemen agribisnisManajemen agribisnis
Manajemen agribisnis
 
Analisis LQ, DLQ, SS, dan klassen di provinsi riau
Analisis LQ, DLQ, SS, dan klassen di provinsi riauAnalisis LQ, DLQ, SS, dan klassen di provinsi riau
Analisis LQ, DLQ, SS, dan klassen di provinsi riau
 
Geografi - Alih Fungsi Lahan
Geografi - Alih Fungsi LahanGeografi - Alih Fungsi Lahan
Geografi - Alih Fungsi Lahan
 
laporan perencanaan kehutanan
laporan perencanaan kehutananlaporan perencanaan kehutanan
laporan perencanaan kehutanan
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
 
Materi inovasi pemanfaatan pekarangan
Materi inovasi pemanfaatan pekaranganMateri inovasi pemanfaatan pekarangan
Materi inovasi pemanfaatan pekarangan
 
Pengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Aset DaerahPengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Aset Daerah
 
Menyusun materi penyuluhan
Menyusun materi penyuluhanMenyusun materi penyuluhan
Menyusun materi penyuluhan
 

Similar to Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani

Pengembangan lingkungan terhadap Ketahanan Pangan
Pengembangan lingkungan terhadap Ketahanan PanganPengembangan lingkungan terhadap Ketahanan Pangan
Pengembangan lingkungan terhadap Ketahanan PanganEnchink Qw
 
1 PERTANIAN DAN KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN DAN PERADABAN MANUSIA.pdf
1 PERTANIAN DAN KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN DAN PERADABAN MANUSIA.pdf1 PERTANIAN DAN KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN DAN PERADABAN MANUSIA.pdf
1 PERTANIAN DAN KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN DAN PERADABAN MANUSIA.pdfSyahnaz2003
 
Edukasi Budidaya Lele Dan Kangkung Hidroponik Melalui Media Ember Sebagai Sol...
Edukasi Budidaya Lele Dan Kangkung Hidroponik Melalui Media Ember Sebagai Sol...Edukasi Budidaya Lele Dan Kangkung Hidroponik Melalui Media Ember Sebagai Sol...
Edukasi Budidaya Lele Dan Kangkung Hidroponik Melalui Media Ember Sebagai Sol...Luhur Moekti Prayogo
 
Keynote speech menteri pertanian dalam seminar keadulatan pangan
Keynote speech menteri pertanian dalam seminar keadulatan panganKeynote speech menteri pertanian dalam seminar keadulatan pangan
Keynote speech menteri pertanian dalam seminar keadulatan panganZain Corps
 
Strategi kemandirian pangan indonesia
Strategi kemandirian pangan indonesiaStrategi kemandirian pangan indonesia
Strategi kemandirian pangan indonesiaTogar Simatupang
 
Laporan besar put bismillah
Laporan besar put bismillahLaporan besar put bismillah
Laporan besar put bismillahM Abidin
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanWarnet Raha
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanWarnet Raha
 
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...ripto atmaja
 
ADOPSI INOVASI TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PERTANIAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN...
ADOPSI INOVASI TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PERTANIAN  MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN...ADOPSI INOVASI TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PERTANIAN  MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN...
ADOPSI INOVASI TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PERTANIAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN...prisman9
 
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...Luhur Moekti Prayogo
 
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...Bondan the Planter of Palm Oil
 
majalah
majalahmajalah
majalahrin26
 

Similar to Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani (20)

Pengembangan lingkungan terhadap Ketahanan Pangan
Pengembangan lingkungan terhadap Ketahanan PanganPengembangan lingkungan terhadap Ketahanan Pangan
Pengembangan lingkungan terhadap Ketahanan Pangan
 
1 PERTANIAN DAN KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN DAN PERADABAN MANUSIA.pdf
1 PERTANIAN DAN KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN DAN PERADABAN MANUSIA.pdf1 PERTANIAN DAN KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN DAN PERADABAN MANUSIA.pdf
1 PERTANIAN DAN KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN DAN PERADABAN MANUSIA.pdf
 
Edukasi Budidaya Lele Dan Kangkung Hidroponik Melalui Media Ember Sebagai Sol...
Edukasi Budidaya Lele Dan Kangkung Hidroponik Melalui Media Ember Sebagai Sol...Edukasi Budidaya Lele Dan Kangkung Hidroponik Melalui Media Ember Sebagai Sol...
Edukasi Budidaya Lele Dan Kangkung Hidroponik Melalui Media Ember Sebagai Sol...
 
Bab i ratih
Bab i ratihBab i ratih
Bab i ratih
 
Indeks kedaulatan pangan (yuti)
Indeks kedaulatan pangan (yuti)Indeks kedaulatan pangan (yuti)
Indeks kedaulatan pangan (yuti)
 
Keynote speech menteri pertanian dalam seminar keadulatan pangan
Keynote speech menteri pertanian dalam seminar keadulatan panganKeynote speech menteri pertanian dalam seminar keadulatan pangan
Keynote speech menteri pertanian dalam seminar keadulatan pangan
 
Strategi kemandirian pangan indonesia
Strategi kemandirian pangan indonesiaStrategi kemandirian pangan indonesia
Strategi kemandirian pangan indonesia
 
Rdhp peningkatan ip 2018
Rdhp peningkatan ip 2018Rdhp peningkatan ip 2018
Rdhp peningkatan ip 2018
 
Laporan besar put bismillah
Laporan besar put bismillahLaporan besar put bismillah
Laporan besar put bismillah
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
 
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunanApakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
Apakah pertanian bertentangan dengan pembangunan
 
Tanah Indonesia Tanah Surga
Tanah Indonesia Tanah SurgaTanah Indonesia Tanah Surga
Tanah Indonesia Tanah Surga
 
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
KARYA ILMIA BUDIDAYA PADI (Oryza sativa) TANAM BENIH LANGSUNG ( TABELA ) DI D...
 
ADOPSI INOVASI TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PERTANIAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN...
ADOPSI INOVASI TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PERTANIAN  MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN...ADOPSI INOVASI TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PERTANIAN  MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN...
ADOPSI INOVASI TERKAIT DENGAN TEKNOLOGI PERTANIAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN...
 
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
PERANAN AKADEMISI DAN DINAS PERIKANAN KABUPATEN TUBAN DALAM PENINGKATAN PEMAN...
 
Rdhp bioindustri pasut
Rdhp bioindustri pasutRdhp bioindustri pasut
Rdhp bioindustri pasut
 
Agraria 28 okt 2017 uns (yuti)
Agraria 28 okt 2017   uns (yuti)Agraria 28 okt 2017   uns (yuti)
Agraria 28 okt 2017 uns (yuti)
 
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
Makalah_56 Kel 4 pengaruh perubahan iklim terhadap pembangunan pertanian dan ...
 
Makalah_52 Makalah peledakan penduduk malthus
Makalah_52 Makalah peledakan penduduk malthusMakalah_52 Makalah peledakan penduduk malthus
Makalah_52 Makalah peledakan penduduk malthus
 
majalah
majalahmajalah
majalah
 

More from Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialPemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutPermen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 

More from Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (20)

Potret Krisis Ruang Sulawesi
Potret Krisis Ruang SulawesiPotret Krisis Ruang Sulawesi
Potret Krisis Ruang Sulawesi
 
Potret Ketimpangan Ruang Kalimantan
Potret Ketimpangan Ruang KalimantanPotret Ketimpangan Ruang Kalimantan
Potret Ketimpangan Ruang Kalimantan
 
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
 
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix FlavellePanduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
 
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
 
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialPemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
 
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
 
Reforma Agraria Untuk Pemula
Reforma Agraria Untuk PemulaReforma Agraria Untuk Pemula
Reforma Agraria Untuk Pemula
 
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
 
Kabar JKPP Edisi 22
Kabar JKPP Edisi 22Kabar JKPP Edisi 22
Kabar JKPP Edisi 22
 
Laporan BRWA 2018 2019
Laporan BRWA 2018 2019Laporan BRWA 2018 2019
Laporan BRWA 2018 2019
 
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat AdatMemahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
 
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan IndonesiaKebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
 
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
 
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
 
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA IndonesiaPanduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
 
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutPermen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
 
Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
Perpres Nomor 39 tahun 2019   tentang Satu Data IndonesiaPerpres Nomor 39 tahun 2019   tentang Satu Data Indonesia
Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
 
Kabar jkpp edisi 21
Kabar jkpp edisi 21Kabar jkpp edisi 21
Kabar jkpp edisi 21
 
Kabar jkpp 20
Kabar jkpp 20Kabar jkpp 20
Kabar jkpp 20
 

Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani

  • 1. KONSESI MENCAPLOK SAWAH FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI Analisis Spasial dan Sosial Ekologis Mengenai Kerawanan Pangan di Masa Pandemi COVID-19 Menuju tegaknya kedaulatan rakyat atas ruang
  • 2.
  • 3. KONSESI MENCAPLOK SAWAH FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI Analisis Spasial dan Sosial Ekologis Mengenai Kerawanan Pangan di Masa Pandemi COVID-19 jaringan kerja pemetaan partisipatif
  • 4. KONSESI MENCAPLOK SAWAH, FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI Analisis Spasial dan Sosial Ekologis mengenai Kerawanan Pangan di Masa Pandemi COVID-19 Penulis : Rahmat Sulaiman Dewi Sutejo Laksmi Savitri Amir Mahmud M Husen Imam Mas’ud Dimas Novian Hartono Muhammad Al Amien Hairul Sobri Kontributor : SLPP Sumatera Selatan SLPP Kalimantan Tengah SLPP Sulawesi Selatan Layout dan Sampul Imam Mas’ud Diterbitkan Oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Jl. Cimanuk Blok B7 No. 6 Komp. Bogor Baru Taman Bogor 16152 INDONESIA Telp/Fax : +62251 – 8379143 Alamat Surel E-mail : seknas@jkpp.org Akun Media Sosial Page Facebook : /peta kampung Twitter : @petakampung Instagram : @seknas_jkpp Website : www.jkpp.org
  • 5. F ood and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa dunia akan mengalami krisis pangan di akhir Agustus 2020 sebagai dampak penyebaran COVID-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan akan berdampak pada timbulnya kerawanan pangan, yaitu kondisi di mana masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode waktu yang lama. Dengan situasi seperti ini, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengkaji tiga provinsi yang terletak di pulau- pulau besar, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan untuk melihat kondisi ketersedian pangan yang dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras setiap penduduk dengan pendekatan pasokan dan permintaan (pasokan-permintaan) berbasis data spasial. Dari analisis ini dapat dimunculkan wilayah yang dianggap tidak mampu mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri atau bisa disebut sebagai defisit produksi pangan terutama beras, sekaligus memeriksa sebaran perizinan di lokasi yang dikaji dan laju konversi lahan sawah. Kedua aspek terakhir diharapkan dapat memberikan indikasi penyebab kerawanan pangan dilihat dari alokasi ruang untuk lahan pangan itu sendiri. Kajian JKPP menunjukkan bahwa negeri ini dalam dua dekade terakhir telah mengalami kehilangan lahan sawah secara signifikan di ketiga provinsi tersebut, yaitu seluas 409.790,57 hektare atau setara dengan kira- kira 2.048.952,84 ton, atau hampir sama dengan volume impor beras pada tahun 2018. Akar persoalan dari kehilangan lahan sawah dan produksi beras adalah perluasan konsesi dan izin yang mencaplok persawahan. Di semua lokasi kajian, total luas konsesi pada 2017 mencapai 12 % di Sulawesi Selatan, 32% di Sumatera Selatan dan 47% di Kalimantan Tengah dari luasan total wilayah administratif setiap provinsi. Kajian JKPP juga menunjukkan bahwa di semua provinsi yang dikaji selalu terdapat wilayah yang defisit beras, meskipun bukan merupakan wilayah perkotaan. Bahkan salah satu provinsi, yaitu Kalimantan Tengah, dari 13 kabupaten, 9 kabupaten berada dalam kondisi defisitpasokanberasnya.Kecenderungandefisit beras ini berimplikasi pada tingkat pengeluaran untuk pangan yang harus bertambah. Padahal wilayah-wilayah defisit beras non-perkotaan adalah wilayah-wilayah yang angka kemiskinan rata-ratanya berada di bawah angka kemiskinan provinsi. Kondisi kemiskinan diperparah oleh kecilnya nilai tukar petani di semua provinsi RINGKASAN
  • 6. yang ditandai oleh penggureman atau semakin sempitnya penguasaan luas lahan sawah oleh petani. Maka apabila perluasan cetak sawah baru skala luas dikelola bukan oleh petani, dapat dipastikan hal itu akan menjadi awal dari kematian pertanian skala kecil dan hancurnya penghidupan petani kecil. Penambahan luas sawah melalui program-program cetak sawah yang dianggap sebagai solusi, menurut berbagai pengalaman dan kajian, telah melipatgandakan masalah ke persoalan lingkungan dan sosial yang rumit.Olehsebabitu,JKPPberpandanganbahwa: 1. Seharusnya pemerintah menjalankan UU Keterbukaan Informasi Publik dan memberikan hak kepada warga negara untuk mendapatkan data dan informasi yang sejelas-jelasnya atas segala kebijakan yang bertujuan mengubah penguasaan dan pemilikan tanah, serta mengubah fungsi dan peruntukan lahan dan wilayah. 2. Seharusnya pemerintah nasional merubah secara radikal pemberian hak dan perizinan skala luas untuk usaha perkebunan, pertanian, kehutanan dan pertambangan dengan menjalankan Reforma Agraria sejati, serta pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adat. Penambahan luas sawah melalui program-program cetak sawah yang dianggap sebagai solusi, menurut berbagai pengalaman dan kajian, telah melipatgandakan masalah ke persoalan lingkungan dan sosial yang rumit. 3. Alih-alih menyerahkan pertanian pangan pada bisnis korporasi, pemerintah seharusnya berorientasi pada pemenuhan pangan berbasiskan pada kedaulatan pangan dan kearifan lokal untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan alam dalam jangka panjang. 4. Dalam jangka waktu secepatnya, pemerintah seharusnya melakukan diversifikasi pangan dan mengembangkan pangan lokal yang tersebar di berbagai belahan negeri di Indonesia dan melakukan intensifikasi di lahan-lahan yang cocok atau di lahan eks Hak Guna Usaha (HGU)/ tanah terlantar di tanah mineral yang tidak dikelola oleh perusahaan untuk mengoptimalkan produksi pangan dan melakukan mekanisasi teknologi bagi petani, bukan di lahan gambut yang terbukti produktivitasnya rendah dan membutuhkan teknologi yang mahal. 5. Pemerintah segera melakukan pengakuan, perlindungan dan identifikasi lokasi lahan pertanian dan perladangan masyarakat secaramenyeluruhyangsaatinimasihmasuk ke dalam kawasan hutan, terancam dengan adanya investasi, berapa luasannya, apa saja jenis pangannya, berapa jumlah produksinya serta juga melindungi benih-benih lokal yang saat ini juga terancam akan punah.
  • 7. Ringkasan - I Pengantar - 1 Bab I Pendahuluan - 3 Bab II Metode Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data - 6 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar - 8 BAB III Provinsi Sumatera Selatan 12 1 Pasokan-Permintaan Beras 12 2 Petani dan Lahan Pertanian 15 3 Tingkat Kesejahteraan 16 Provinsi Kalimantan Tengah 22 1 Pasokan-Permintaan Beras 22 2 Petani dan Lahan Pertanian 24 3 Tingkat Kesejahteraan 25 Provinsi Sulawesi Selatan 32 1 Pasokan-Permintaan Pangan 32 2 Petani dan Lahan Pertanian 35 3 Tingkat Kesejahteraan 36 Konversi Lahan Pertanian, Tumpang-Tindih Konsesi dan Kerawanan Pangan - 40 BAB IV Provinsi Sumatera Selatan 41 1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 41 2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 44 Provinsi Kalimantan Tengah 49 1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 49 2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 51 Provinsi Sulawesi Selatan 56 1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 56 2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 59 DAFTAR ISI
  • 8. Kebijakan Fatal dari ‘Atas’ dan Praktik Baik dari ‘Bawah’ - 65 BAB V 1 Kebijakan Cetak Sawah sebagai Kebijakan Fatal 66 1.2 Kalimantan Tengah dan Kegagalan proyek Food Estate 66 1.3 Sumatera Selatan dan Kegagalan Cetak Sawah di Kabupaten OKI 68 2 Praktik Baik Masyarakat Menjaga Produksi Pangan 70 2.1 Sonor Sebagai Praktik Baik Konservasi Nitrogen yang Terstigma 70 2.2 Menanam Padi Rawang dan Lumbung Bersama 71 2.3 Melawan Sawit dengan Jengkol 73 2.4 Kearifan Lokal Pengelolahan Danau Bangantung: Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sektor Perikanan 77 Menjawab Krisis Lahan Sawah dan Krisis Pangan di Masa Pandemi - 83 BAB VI Daftar Rujukan - 87
  • 9. 1 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani I ndonesia negeri yang kaya akan sumber daya alam, baik di daratan maupun di perairan, posisi Indonesia yang terletak di wilayah tropis mendukung akan suburnya tanah, sampai ada istilah apapun yang ditanam akan tumbuh. Segala produksi pangan melimpah di negeri ini, bagaikan surga dunia yang menyimpan banyak berkah. Sementara kondisi saat ini cukup ironis, Kata PengantarDeny Rahadian Koordinator Nasional JKPP kekayaan alam, kelimpahan sumber daya alam dan pangan tidak sesuai dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Krisis pangan kerap menjadi kabar yang diterima, meninggalnya seorang ibu warga Kelurahan Lontabaru, Serang yang meninggal karena kelaparan akibat pandemi bulan April lalu bukan satu-satunya kasus kelaparan di Indonesia saat pandemi. Ada yang salah dengan tata kelola pangan di negeri ini. Amanat Undang-Undang No.19 Tahun 2012 hadir untuk mewujudkan kedaulatan pangan, seharusnya Indonesia mampu meningkatkan kemampuanproduksipanganmelaluipenyediaan sarana produksi pertanian, biodiversitas komoditi pangan dan pangan yang aman, bermutu serta bergizi. Sarana produksi pertanian berarti termasuk lahan pertanian bagi masyarakat petani, aneka ragam komoditi pangan artinya harus mengakomodir komoditi pangan lokal. Tetapi saat ini yang terjadi adalah ketimpangan penguasaan ruang yang lebih mengakomodir investasi rakusruang,pertambangan, perkebunan monokultur dan proyek-proyek infrastruktur lain yang menggerus kebutuhan sarana produksi penyediaan pangan petani. Pemerintah mencanangkan kembali food estate, dengan dalih Kedaulatan pangan bisa diwujudkan dengan memperkuat petani yang menghasilkan pangan untuk kita semua dan bukan membangun food estate atau cetak sawah baru yang dikelola oleh korporasi dan terbukti gagal. “ Deny Rahadian Koordinator Nasional JKPP
  • 10. 2 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani penyediaan sarana produksi pertanian, program cetak sawah dimana-mana untuk mengantisipasi krisis pangan saat pandemi. Tapi kemudian pertanyaanya apakah ini menjadi jawaban dalam memastikan penyediaan pangan masyarakat? Krisis COVID-19, telah menunjukkan bahwa negara kita krisis antisipasi, gagap serta tidak memiliki Contigency Plan dalam menghadapi pandemi. Padahal menurut David A. Savage dan Bennon Torgler (2020) manusia beda dengan hewan, manusia bisa merasakan ancaman pada masa depan kemudian mempersiapkan diri agar bisa bertahan saat genting, setidaknya 14 hari ke depan (sama dengan masa inkubasi corona). Dampak COVID-19 juga menunjukkan bahwa selama ini ketergantungan terhadap impor pangan, dengan adanya pandemi ini dimana lalu lintas dan perhubungan terputus berdampak pada kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Terutama bagi masyarakat urban, tetapi bagi masyarakat di kampung- kampung, pemenuhan pangan masih bisa berjalan dan saling bantu antar komunitas. Dampak pandemi ini seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, pentingnya sabuk pengaman yang disiapkan oleh penyelenggara negara dalam menghadapi krisis pangan akibat apapun. Pemerintah seharusnya memperkuat, memperluas sarana produksi pangan bagi petani kecil yang notabenenya terbukti lebih bertahan dimasa pandemi. Kedaulatan pangan bisa diwujudkan dengan memperkuat petani yang menghasilkan pangan untuk kita semua dan bukan membangun food estate atau cetak sawah baru yang dikelola oleh korporasi dan terbukti gagal. Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada rekan-rekan SLPP yang sudah berkontribusi dalam penyusunan Working Paper ini, juga kepada tim penyelaras akhir, Mbak Laksmi A. Savitri, Mas Amir Machmud, yang sabar dalam menunggu pengumpulan, pengolahan data hingga menemani dalam setiap diskusi yang substansial. Semoga Working Paper ini dapat berkontribusi dan bermanfaat bagi publik dan para pemangku kepentingan. “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia - Mahatma Gandhi -
  • 11. 3 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani P ada Senin 2 Maret 2020, pemerintah untuk pertama kalinya mengkonfirmasi datakasusCOVID-19. Hinggasaatlaporaniniditulisterdapatlebihdari63.749 penduduk Indonesia yang dinyatakan positif terinfeksi COVID-19, 29.105 jiwa dinyatakan sembuh dan 3.171 jiwa yang meninggal (data tertanggal 05 Juli 2020). Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk menangani pandemi, salah satunya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), serta kebijakan lain yang tujuannya untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Kondisi tersebut kemudian banyak memukul sektor sosio-ekonomi masyarakat khususnya soal ketersediaan pangan. Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa dunia akan mengalami krisis pangan di akhir Agustus 2020 sebagai dampak penyebaran COVID-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan akan berdampak pada timbulnya kerawanan pangan, yaitu kondisi dimana masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode waktu yang lama. Walaupun pada akhir Maret 2020 Presiden Jokowi pernah meminta kepada seluruh Badan Usaha Milik Negara untuk membuka lahan-lahan baru khususnya di lahan basah atau gambut yang akan digunakan untuk aktivitas produksi beras atau komoditas pangan lainnya, akan tetapi rencana ini belum tentu dapat menjawab permasalahan kebutuhan pangan. Bahkan, kemungkinan akan menimbulkan masalah baru seperti yang pernah terjadi pada tahun 90an di era Presiden Suharto dengan program pembukaan lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah. Dengan situasi seperti ini, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mencoba mengkaji di beberapa tempat seperti di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan untuk melihat kondisi ketersediaan pangan yang dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras setiap penduduk dengan pendekatan pasokan dan permintaan (pasokan-permintaan) berbasis data spasial. Dari analisis ini dapat dimunculkan wilayah yang dianggap tidak mampu mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri atau bisa disebut sebagai defisit produksi Pendahuluan Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan akan berdampak pada timbulnya kerawanan pangan, yaitu kondisi dimana masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode waktu yang lama “ Bab Satu
  • 12. 4 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani pangan terutama beras, sekaligus memeriksa sebaran perizinan di lokasi yang dikaji dan laju konversi lahan sawah. Kedua aspek terakhir diharapkan dapat memberikan indikasi penyebab kerawanan pangan dilihat dari alokasi ruang untuk lahan pangan itu sendiri. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) memilih tiga provinsi (Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan) sebagai lokasi kajian dengan pertimbangan bahwa: 1. Karakteristik lanskap di Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah adalah lahan gambut yang memiliki kekhasan secara ekologis dan sosial telah menjadi sasaran kebijakan pangan, baik pada saat ini maupun di masa lalu. a. Provinsi Kalimantan Tengah telah ditunjuk menjadi salah satu lokasi rencana untuk food estate. Sudah dialokasikan sekitar 900,00 ha yang bisa dimanfaatkan dengan 300,00 ha diantaranya sudah bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan 200,00 ha yang sudah dikuasai oleh BUMN. Sementara itu, di provinsi Sumatera Selatan pembukaan lahan gambut untuk lokasi lahan pertanian telah dilakukan pada 2018 dengan alokasi anggaran sebesar Rp23.708.000.000 untuk cetak sawah baru di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) seluas 900.000 ha, Ogan Komering Ulu Timur (OKUT) seluas 300 ha dan Musi Banyuasin seluas 300 ha. Proyek di OKI terbukti gagal dan muncul isu korupsi. (TEMPO, edisi 4 September 2017)1 b. Menghadapi musim kemarau, Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan merupakan lokasi yang rawan kebakaran terutama di lahan gambut. Pengelolaan sumber daya alam berbasis pengetahuan lokal masyarakat diharapkan bisa menjadi alternatif pencegahan Karhutla yang lebih besar. 2. Peta Partisipatif yang dihasilkan diketiga provinsi menunjukkan bahwa wilayah- wilayah ini dibebani oleh banyak izin penggunaan lahan, baik ke dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Luasan wilayah yang dipetakan secara partisipatif di Kalimatan Tengah adalah 2.471.771,82 ha, tapi 367.546,75 ha (14,86%) sudah dibebani izin. Sementara itu, di Sulawesi Selatan luasan wilayah yang dipetakan secara partisipatif seluas 947.354,71 ha, dan 279.885,03 ha (29,54%) sudah dibebani izin. Di Sumatera Selatan luasan wilayah yang dipetakan secara partisipatif seluas 729.205,02 ha, dan 438.406,75 ha (60%) sudah dibebani izin. Dengan demikian, ketiga lokasi ini dapat memberikan gambaran tingkat kerawanan pangan selaras dengan kondisi pemberian izin penggunaan lahan yang berpotensi mengancam keberadaan sawah. (Sumber: Hasil Analisis Spasial JKPP) 3. Contoh-contoh pengelolaan lahan pangan yang berkelanjutan berbasis masyarakat sudah dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sumatera Selatan. Contoh- contoh seperti ini diharapkan bisa menjadi pengetahuan dan dapat diadopsi oleh masyarakat/komunitas di tempat lain guna menjaga keberlanjutan jaminan pangan. Hasil dari kajian ini diharapkan bisa menjadi bacaan untuk pertimbangan pemerintah dalam menjawab isu kerawanan pangan di masa pandemi. Kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan akan memicu krisis yang berkepanjangan. Pada sisi lainnya, kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan stok pangan khususnya beras saat ini lebih bersifat parsial atau cenderung tambal sulam. Kebijakan yang diharapkan seharusnya mampu menciptakan kemandirian atas pangan yang bertumpu pada terciptanya kedaulatan pangan yang diawali dengan kedaulatan rakyat atas ruang. 1 https://majalah.tempo.co/read/nasional/153930/ce- tak-sawah-cetak-masalah, diakses 12 Juli 2020
  • 13. 5 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani Kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan stok pangan khususnya beras saat ini lebih bersifat parsial atau cenderung tambal sulam. Kebijakan yang diharapkan seharusnya mampu menciptakan kemandirian atas pangan yang bertumpu pada terciptanya kedaulatan pangan yang diawali dengan kedaulatan rakyat atas ruang. “
  • 14. 6 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani D ata yang diolah dan dianalisis dalam laporan ini sebagian besar dikumpulkan dan bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018. Selain dari BPS, sumber data juga berasal dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan tahun yang beragam (seperti 2008, 2019 dan 2020). Dari pelbagai dokumen atau laporan resmi kementerian/lembaga itu data dan informasi yang diambil untuk kebutuhan laporan kajian ini seputar sosial, ekonomi dan spasial pertanian terkait produksi, konsumsi pangan, dan penggunaan lahan. Lokasi kajian berfokus pada tiga provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi dipilih di luar Jawa sebagai lokasi yang mewakili tiga pulau besar (Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi) yang dikenal menghasilkan produksi pangan beras, dan ketersediaan data untuk diolah dan dianalisis. Secara sederhana dari dokumen dan laporan yang dikumpulkan itu kemudian diambil dan disalin data-datanya kedalam sebuah tabel untuk diolah menjadi informasi. Tabel berisi seputar angka luas kabupaten/kota, jumlah penduduk, jumlah konsumsi beras per kapita/tahun, luas lahan tanam pertanian padi, dan jumlah produksi padi. Tabel berisi angka yang tersedia itu selanjutnya dianalisis berdasarkan Pasokan-Permintaan. Analisis Pasokan-Permintaan menghasilkan kategori Cukup, Defisit dan Surplus. Kategori Cukup, Defisit dan Surplus diperoleh dari analisis sebagai berikut: 1. Konsumsi pangan padi berpatokan pada jumlah konsumsi per kapita/tahun (2018), yaitu: (1) Sebesar 0,0933 ton (93,3 kg/kapita/tahun) di Sumatera Selatan; (2) Sebesar 0,0872 ton (87,2 kg/kapita/tahun) di Kalimantan Tengah; dan (3) Sebesar 0,1147 ton (114,7 kg/kapita/tahun) di Sulawesi Selatan. 2. Untuk memperoleh tiga kategori, maka dibuat jarak angka tertinggi dan terbawah dalam tiap kategori. Kategori cukup berdasarkan pada patokan konsumsi per kapita/tahun sebagai angka terbawah, dan ditambah konsumsi per kapita untuk 3 bulan ke depan sebagai angka tertinggi. Kategori defisit: angka di bawah patokan konsumsi per kapita/tahun sebagai angka tertinggi, dan dikurangi konsumsi per kapita untuk 3 bulan sebagai angka terendah. Kategori surplus: angka di atas angka tertinggi dalam kategori cukup sebagai angka terendah, dan ditambah konsumsi per kapita untuk 2 x 3 bulan ke depan sebagai angka tertinggi. Tiga bulan berasal dari asumsi masa tanam dan panen untuk menghasilkan padi. Metode Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Bab Dua Analisis Pasokan-Permintaan dan hasilnya itu (kategori cukup, defisit dan surplus) diperkaya dengan suatu alas dasar alokasi penggunaan lahan dan dinamikanya (konversi lahan dan ekstensifikasi lahan) dari data spasial, dan dilengkapi pula dengan data yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi petani, dan tingkat pengeluaran ekonomi penduduk (makanan dan non-makanan, dan biaya produksi) termasuk kalori yang dikonsumsinya. “
  • 15. 7 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani 3. Jarak antar-kategori (cukup, defisit dan surplus) sebagai berikut: (1) Sumatera Selatan. Defisit = < 0,07 - 0,0932; Cukup = 0,0933 - 0,1166 dan Surplus = 0,1167 - 0,1399 keatas. (2) Kalimantan Tengah. Defisit = < 0,0654 - 0,0871; Cukup = 0,0872 - 0,1090; dan Surplus = 0,1091 - 0,1308 ke atas. (3) Sulawesi Selatan. Defisit = < 0,0860 - 0,1146; Cukup = 0,1147 - 0,1434 dan Surplus = 0,1435 - 0,1721 ke atas. Analisis Pasokan-Permintaan dan hasilnya itu (kategori cukup, defisit dan surplus) diperkaya dengan suatu alas dasar alokasi penggunaan lahan dan dinamikanya (konversi lahan dan ekstensifikasi lahan) dari data spasial, dan dilengkapi pula dengan data yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi petani, dan tingkat pengeluaran ekonomi penduduk (makanan dan non-makanan, dan biaya produksi) termasuk kalori yang dikonsumsinya. Semua data dan informasi tersebut untuk menunjukkan kondisi dan dinamika kemandirian pangan atau kerawanan pangan. Untuk keperluan laporan kajian ini, patokan dan konversi yang digunakan sebagai berikut: 1. Konversi Gabah Kering Giling (GKG) menjadi Beras sebesar 57,13%. 2. Konversi jenis padi-padian menjadi kalori dan protein yaitu: (1) 1 kg Beras (beras lokal, kualitas unggul, impor) mengandung 3.622,00 kilokalori (kkal) dan 84,75 gram protein, (2) 1 kg Beras ketan mengandung 3.605,00 kkal dan 77,00 gram protein, (3) 1 kg Jagung basah dengan kulit mengandung 361,20 kkal dan 11,48 gram protein, (4) 1 kg Jagung pipilan/beras jagung/jagung titi mengandung3.200,00kkal,dan82,80gram protein, (5) 1 kg tepung terigu mengandung 3.330,00 kkal, dan 90,00 gram protein, dan (6) 1 kg Padi-padian lainnya mengandung 3.570,00 kkal, dan 78,33 gram protein. Data spasial yang diolah menggunakan analisis tumpang tindih (overlay) dari berbagai data spasial, di antaranya analisis tumpang tindih land-use dengan berbagai perizinan konsesi. Analisis tumpang tindih ini untuk melihat laju konversi perubahan lahan pertanian (khususnya padi sawah) dengan menggunakan analisis tumpang tindih (overlay) Peta Ketersediaan Lahan Untuk Pertanian (Kementerian Pertanian 2008) dengan Peta Penutupan Lahan (KLHK 2019). Tahapan dalam pengumpulan data hingga pengolahan data, yaitu: pertama, pengumpulan data spasial terutama berasal dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Kendala yang dihadapi dalam pengumpulan data adalah kesulitan akses data-data spasial dan minimnya ketersediaan data-data spasial. Data spasial terkait peta ketersediaan lahan untuk pertanian saja yang terbaru tidak ada dalam portal resmi Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Pada akhirnya, dalam kajian ini untuk melihat laju konversi perubahan lahan pertanian (khususnya padi sawah) melakukan overlay dengan menggunakan sumber data lain, yakni data peta penutupan lahan (KLHK 2019). Secara ideal, data yang digunakan sebaiknya menggunakan sumber data yang sama untuk analisis ini. Namun kendala ketersediaan data dan kesulitan mengakses data yang relevan dan penting, maka analisis ini menggunakan data yang tersedia dan bisa diakses. Kedua, mendigitasi peta-peta tersebut. Dalam proses ini ditemukan tingkat eror yang cukup tinggi disebabkan data yang tidak lengkap. Salah satu ketidaklengkapan itu berasal dari data peta ketersediaan lahan untuk pertanian yang sistem koordinat proyeksinya kurang lengkap. Konsekuensinya, hasil dari digitasi yang dilakukan mengalami perbedaan luasan yang cukup signifikan antara jumlah luasan yang ada dalam peta tersebut dengan jumlah luasan hasil digitasi. Kendala kemudahan akses data dan ketersediaan data yang baik tidak mengurangi kualitas analisis dalam laporan ini untuk menunjukkan gradasi tingkat kerawanan pangan yang disertai dengan dinamika penyusutan lahan dan penggunaannya.
  • 16. 8 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani T ingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan setiap wilayah di Indonesia dipetakan setiap tahun oleh Kementerian Pertanian. Ada tiga faktor yang dianggap menentukan kerawanan pangan yaitu: ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan. Menurut Badan Ketahanan Pangan (2019) ketiga faktor tersebut dijabarkan melalui sembilan indikator sbb: 1. Indikator pada aspek ketersediaan pangan adalah rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan beras, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar 2. Indikator pada akses pangan adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65 persen terhadap total pengeluaran, dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik. 3. Indikator pada aspek pemanfaatan pangan adalah rata-rata lama sekolah perempuan diatas 15 tahun, persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan penduduk, persentase balita dengan tinggi badan di bawah standar (stunting), dan angka harapan hidup pada saat lahir. Bab Tiga Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
  • 17. 9 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar Dalam menggambarkan kondisi pangan di Sumsel, Kalteng dan Sulsel, JKPP akan merefleksikan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian tersebut dengan memeriksa aspek- aspek kunci dalam produksi pangan, khususnya beras, terdiri dari: 1. Ketersediaan lahan sawah terkait dengan ancaman-ancaman alih fungsi yang dihadapinya, kondisi penerimaan dan belanja petani tanaman pangan, serta 2. Kondisi kemiskinan di wilayah- wilayah yang produksi berasnya lebih rendah dari kebutuhan konsumsinya (defisit). JKPP memfokuskan pembahasan pada produksi beras, karena dalam pandangan JKPP persediaan cadangan beras bukan hanya persoalan produktivitas dan neraca produksi- konsumsi, melainkan juga persoalan politik kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan lokal diuji secara nyata ketika berhadapan dengan kondisi penutupan jalur logistik ekspor-impor pangan akibat PSBB. Oleh sebab itu, politik kedaulatan pangan meletakkan masalah ketersediaan beras di luar persoalan perdagangan atau ekspor- impor. Dalam perspektif kedaulatan pangan, ada atau tidaknya beras berkaitan erat dengan persoalan alokasi lahan untuk pertanian pangan terhadap alokasi ruang keseluruhan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah, serta akses petani dan warga miskin terhadap pangan di lokasi- lokasi defisit beras. Fokus analisis pada wilayah kabupaten/kota yang defisit diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih tajam tentang kondisi kedaulatan pangan lokal, sebagai pemberi sinyal antisipasi cepat bagi kerawanan pangan atau kelaparan kronis. Bab ini akan menjelaskan terlebih dulu kondisi produksi beras terkait dengan kecukupan atau ketidakcukupannya dalam memenuhi konsumsi beras warga di provinsi yang bersangkutan. Selanjutnya, analisa kesejahteraan petani dan tingkat kemiskinan akan difokuskan pada wilayah-wilayah yang terhitung memiliki produksi beras defisit. JKPP memfokuskan pembahasan pada produksi beras, karena dalam pandangan JKPP persediaan cadangan beras bukan hanya persoalan produktivitas dan neraca produksi- konsumsi, melainkan juga persoalan politik kedaulatan pangan. Dalam perspektif kedaulatan pangan, ada atau tidaknya beras berkaitan erat dengan persoalan alokasi lahan untuk pertanian pangan terhadap alokasi ruang keseluruhan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah, serta akses petani dan warga miskin terhadap pangan di lokasi-lokasi defisit beras. “
  • 18. 10 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS SUMATERA SELATAN 8.370.320 Jiwa Jumlah Penduduk PERMINTAAN BERAS Konsumsi Beras 780.950,86 Ton/tahun Rata-rata konsumsi setiap penduduk 93,3 kg/kapita/tahun atau 0,0933 ton/ kapita/tahun PASOKAN BERAS Luas Panen 513.209 Ha Produksi GKG 2646.566 ton/tahun setara Beras 1.511.987 Ton/Tahun dengan nilai konversi GKP ke Beras rata - rata 57,13% = KATEGORI DEFISIT < 0,07 - 0,0932 Ton Kapita/Tahun CUKUP 0,0933 - 0,1166 Ton Kapita/ Tahun SURPLUS 0,1167 - diatas 0,1399 Ton Kapita/ Tahun KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA 1. Ogan Kemiring Ulu 2. Muara Enim 3. OKU Selatan 4. PALI 5. Musi Rawas Utara 6. Palembang (Kota) 7. Prabumuli (Kota) 8. Pagar Alam (Kota) 9. Lubuklinggau (Kota) 0.0147 0.2569 0.0704 0.1027 0.1387 0.1244 0.6183 0.0472 0.5272 0.2582 0.1242 0.0425 0.0455 0.0081 0.0003 0.0749 0.0111 0.1806 OganKomeringUlu OganKemeringIlir MuaraEnim Lahat MusiRawas MusiBanyuasin Banyuasin OKUSelatan OKUTimur OganIlir EmpatLawang PALI MusiRawasUtara Palembang/Kota Prabumulih/Kota PagarAlam/Kota Lubuklinggau/Kota SumateraSelatan = 1. Lahat 1. Ogan Kemiring Ilir 2. Musi Rawas 3. Musi Banyuasin 4. Banyuasin 5. OKU Timur 6. Ogan Ilir 7. Empat Lawang Grafik Pasokan Beras Di Sumatera Selatan Tahun 2018 Perorang/Ton/Kapita/Tahun 2018
  • 19. 11 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN SUMATERA SELATAN2018 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian 1.039.098 RTUP 219.352 RTUP yang mengusahakan tanaman padi. Penggunaan Lahan 1.031.088 RTUP Terdapat kenaikan rumah tangga petani gurem dari sebanyak 110.932 (2013) naik (24,52%) menjadi 138.134 (2018). Penguasaan Lahan Rata - Rata 16.550.43 m2 Tahun 2013 luas rata - rata penguasaan lahan 19.499,74 m2 , penurunan penguasaan lahan juga terjadi pada lahan sawah pertanian di tahun 2013 sebesar 18.928,78 m2 menjadi 15.921,06 m2 di tahun 2018 TINGKAT KESEJAHTERAAN Nilai Tukar Petani Rata - Rata NTP Sub Sektor Tanaman Pangan 99,72 dari Januari - Desember 2018 Rata-rata pertumbuhan negatifnya 0,09%, yang artinya telah terjadi penurunan tingkat kesejahteraan yang dialami oleh petani. Rp Penduduk Golongan Miskin 1.068,27 ribu Jiwa Pekerjaan Golongan Miskin : 41% Tidak Bekerja 7,84% Bukan Pertanian 51,16% Pertanian
  • 20. 12 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani Provinsi Sumatera Selatan Gambar 1. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 (Kementerian Pertanian, 2019) Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas 17 daerah administratif kabupaten/kota yang memiliki wilayah daratan seluas 86.700,68 km2 . Daerah administratif terluas terletak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (17.024,47 km2 atau 19,64%) dan tersempit di Kota Palembang (366,48 km2 atau 0,42%). Pada tahun 2018 jumlah penduduk Sumatera Selatan sebanyak 8.370.320 jiwa. Dari segi demografi, Palembang sebagaikotaterbanyakpenduduknya19,63%dan Kota Pagar Alam terkecil jumlah penduduknya 1,65% dari total jumlah penduduk di Sumatera Selatan. Dalam rekaman peta kerentanan dan ketahanan pangan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian pada 2019, memiliki kabupaten dan kota yang menduduki prioritas 4-6 atau masuk dalam kategori tahan pangan (Kementerian Pertanian, 2019). Dengan menggunakan analisis pasokan dan permintaan pangan,khususnyaberas,kajianinimendapatkan gambaran rinci kemampuan setiap kabupaten dan kota dalam memproduksi beras untuk memenuhi tingkat konsumsi pangan ideal bagi seluruh penduduknya. Lebih jauh lagi, kajian ini juga mengaitkan kondisi defisit dan surplus produksi beras tersebut dengan kondisi petani dan lahan pertaniannya, serta kesejahteraan produsen maupun konsumen pangan di wilayah- wilayah yang terhitung defisit. 1. Pasokan dan Permintaan Beras Dengan jumlah penduduk Sumatera Selatan sebesar 8.370.320 jiwa, kebutuhan konsumsi beras mencapai 780.950,86 ton/tahun dengan rata-rata konsumsi setiap penduduk 93,3 kg/ kapita/tahun. Dengan luas panen 513.209 ha
  • 21. 13 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar serta tingkat produktivitas rata-rata 5,174 ton/ ha, maka jumlah produksi Gabah Kering Giling (GKG) yang dihasilkan sebesar 2646.566 ton/ tahun atau 1.511.987 ton produksi padi setara beras. Jumlah produksi beras sebesar 1.511.987 ton itu dapat memberikan pasokan beras untuk setiap penduduk di Sumatera Selatan sebesar 180,6 kg/kapita/tahun. Sementara rata-rata kebutuhan beras di Sumatera Selatan sebanyak 780.950,86 ton. Artinya, ketersediaan beras yang diperoleh dari produksi pada lahan di Sumatera Selatan dapat mencukupi rata-rata kebutuhan beras per kapita/tahun bahkan ketersediaan itu lebih besar dibandingkan rata- rata konsumsi beras per kapita/tahun. Pada level daerah provinsi, Sumatera Selatan dapat dikatakan cukup untuk pemenuhan kebutuhan pangan padi sebanyak 1.511.987 ton padi setara beras. Gambar 2. Peta Kerawanan Pangan di Provinsi Sumatera Selatan Analisis tabular dan spasial mengenai pasokan dan permintaan beras menunjukkan bahwa dari 17 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, terdapat 5 daerah kabupaten yang mengalami defisit produksi pangan, dan daerah kota secara keseluruhan mengalami defisit produksi pangan (Tabel 1 dan Gambar 2). Terdapat lima kabupaten yang status pasokan berasnya defisit dan terdapat satu kabupaten yang statusnya cukup atau sedikit saja di atas pemenuhan konsumsi ideal per kapita per hari. Lima kabupaten di Sumatera Selatan yang mengalami defisit antara lain Ogan Kemiring Ulu (OKU), Penukal Adab Lematang Ilir (PALI), Musi Rawas Utara, OKU Selatan, dan Muara Enim dengan tingkat defisit yang bervariatif. Sebanyak 3 kabupaten berada pada tingkat defisit melebihi 50% di antaranya Kabupaten Ogan Kemiring Ulu (OKU) menjadi kabupaten
  • 22. 14 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani dengan tingkat defisit yang paling tinggi sebesar 84,26%; Kabupaten PALI tingkat defisit sebesar 54,44%; dan Kabupaten Musi Rawas Utara sebesar 51,24%. Artinya, tiga kabupaten tersebut berturut-turut hanya mampu menyediakan pasokan sebesar 15,74%; 45,56%; dan 48,76%. Dua kabupaten yang lain memiliki tingkat defisit dibawah 50% yaitu OKU Selatan 49,43% dan Muara Enim 24,54%. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk (Jiwa)* Permintaan Pasokan (Ketersedian) Keterangan Konsumsi Beras Per orang/kap/ tahun (ton)** Kebutuhan beras (ton) Luas Panen (Ha)* Produksi GKG (Ton)* Produktivitas (Ton/ha) Produksi Padi Setara Beras (Ton)* Pasokan Beras (Ton) Nilai Konversi GKG ke Beras (%) OKU 363.617 0,0933 339.325,47 2.110 9.345 4,429 5.340 0.0147 57,14 Defisit OKI 819.570 0,0933 764.65,88 73.202 368.513 5,034 210.531 0.2569 57,13 Surplus Muara Enim 627.818 0,0933 585.75,42 16.541 77.363 4,677 44.199 0.0704 57,13 Defisit Lahat 405.524 0,0933 378.35,39 13.541 72.917 5,385 41.661 0.1027 57,13 Cukup Musi Rawas 399.075 0,0933 372.33,70 23.506 96.880 4,122 55.348 0.1387 57,13 Surplus Musi Banyuasin 638.625 0,0933 595.83,71 30.469 139.067 4,564 79.448 0.1244 57,13 Surplus Banyuasin 844.175 0,0933 787.61,53 185.964 913.635 4,913 521.958 0.6183 57,13 Surplus OKU Selatan 357.105 0,0933 333.17,90 6.867 29.488 4,294 16.849 0.0472 57,14 Defisit OKU Timur 670.272 0,0933 625.36,38 94.374 618.580 6,555 353.393 0.5272 57,13 Surplus Ogan Ilir 425.032 0,0933 396.55,49 37.163 192.099 5,169 109.747 0.2582 57,13 Surplus Empat Lawang 247.285 0,0933 230.71,69 13.141 53.781 4,093 30.725 0.1242 57,13 Surplus PALI 187.281 0,0933 174.73,32 3.569 13.933 3,904 7.960 0.0425 57,13 Defisit Musi Rawas Utara 189.895 0,0933 177.17,20 3.885 15.124 3,893 8.639 0.0455 57,12 Defisit Palembang/Kota 1.643.488 0,0933 153.337,43 4.078 23.204 5,69 13.257 0.0081 57,13 Defisit Prabumulih/Kota 184.425 0,0933 172.06,85 21 105 5 60 0.0003 57,14 Defisit Pagar Alam/Kota 137.909 0,0933 128.66,91 3.565 18.087 5,073 10.332 0.0749 57,12 Defisit Lubuklinggau/Kota 229.224 0,0933 213.86,60 1.213 4.445 3,664 2.540 0.0111 57,14 Defisit Sumatera Selatan 8.370.320 0,0933 780.950,86 513.209 2.646.566 5,174 1.511.987 0.1806 57,13 Surplus Tabel 1. Analisis Pasokan dan Permintaan Produksi Beras Di Sumatera Selatan Tahun 2018 Sumber : * Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka 2019 (BPS) ** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian) Dilihat dari segi pasokan, tingginya tingkat defisit produksi beras di Kabupaten OKU dan PALI disebabkan oleh dua hal penting. Pertama sempitnya luas lahan panen. Di Kabupaten OKU luas panen hanya 2.110 ha atau hanya 0,5% dari luas administrasi kabupaten, sementara untuk memenuhi kebutuhan beras dibutuhkan luas lahan panen sebesar 13.404,73 ha. Di sisi yang lain, sebesar 47,74 % dari luasan administrasi Kabupaten sudah berupa Izin Konsensi maupun HGU yang 75,93% dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) (lihat Tabel 7 pada Bab 4). Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan Kabupaten PALI, sebanyak 95,24 % dari luas wilayah administratifnya sudah dialokasikan dalam bentuk Izin Konsensi maupun HGU yang 74,80% dalam bentuk IUP. Kedua, minimnya tingkat produksi beras juga diakibatkan oleh rendahnya tingkat produktivitas. Terdapat dua kabupaten yang dibawah rata-rata tingkat produktivitas provinsi yaitu: di OKU tingkat produktivitas tanaman padi lebih rendah 14,40%, dan di Kabupaten PALI 24,55%. Pada wilayah administrasi kota yang secara keseluruhan mengalami defisit produksi beras dengan tingkat defisit yang sangat signifikan di tiga kota yaitu Prabumulih 99,65%, Palembang 91,35% dan Lubuk Linggau 88,12%. Defisit terendah di Pagar Alam sebesar 19,70%. Jika dilihat dari besaran konsumsi beras, Kota Palembang menjadi kota tertinggi konsumsi
  • 23. 15 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar berasnya mencapai 19,13% dari total konsumsi beras di Sumatera Selatan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut Kota Palembang setidaknya membutuhkan luas lahan panen sebesar 47.168,66 ha atau lebih luas 23,72% jika dibandingkan dengan luas administrasinya. Di Prabumulih yang tingkat defisitnya sangat tinggi, selain dampak dari kepadatan penduduk juga karena minimnya luas lahan panen yang besarannya hanya 8,74% dari luas administrasi. Hal ini berbanding terbalik dengan luasan izin konsensi dalam bentuk IUP yang besarannya mencapai 34,71% dari total luas administratif wilayah (lihat Tabel 7 pada bab selanjutnya). tingginya tingkat defisit produksi beras di Kabupaten OKU dan PALI disebabkan oleh dua hal penting. Pertama di sempitnya luas lahan panen. di OKU sebesar 47,74% dari luasan administrasi Kabupaten sudah berupa Izin Konsensi maupun HGU yang 75,93% dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP). di Kabupaten PALI, sebanyak 95,24% dari luas wilayah administratifnya sudah dialokasikan dalam bentuk Izin Konsensi maupun HGU yang 74,80% dalam bentuk IUP. Kedua, minimnya tingkat produksi beras juga diakibatkan oleh rendahnya tingkat produktivitas. 2. Petani dan Lahan Pertanian Merujuk pada Survei Pertanian Antar Sensus 2018 (SUTAS 2018), jumlah petani di Indonesia sebanyak 33.487.806 orang dan terdapat 27.682.117 rumah tangga usaha pertanian (RTUP). Jumlah petani itu terdiri atas laki-laki 25.436.478 orang dan perempuan 8.051.328 orang. Di Sumatera Selatan jumlah petani sebesar 3,87% atau sebanyak 1.298.888 orang pada tahun 2018 yang terdiri atas laki- laki 1.015.105 orang dan perempuan 283.783 orang. Jumlah RTUP tahun 2018 meningkat dibandingkan tahun 2013, dari 958.724 RTUP menjadi 1.039.098 RTUP. Jumlah RTUP 2018 itu tersebar dalam subsektor tanaman pangan (padi dan palawija), hortikultura, perkebunan, peternakan (ternak pangan dan ternak non-pangan), perikanan (budidaya ikan dan penangkapan ikan), kehutanan, dan jasa penunjang pertanian. Sekalipunterdapatsebanyak315.285RTUPuntuk tanaman pangan khususnya padi pada tahun 2018 namun disimak dari jenis usaha utamanya terdapat 219.352 RTUP yang mengusahakan tanaman padi. Usaha utama padi dari RTUP itu, sebanyak 183.774 RTUP mengandalkan sumber penghasilan utama mereka dari pertanian padi, dan sebanyak 35.578 RTUP sumber utama penghasilan bukan dari pertanian padi. Dari segi penguasaan lahan, jumlah RTUP tahun 2018 di Sumatera Selatan mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2013 yaitu dari 949.801 RTUP naik 8.59% menjadi 1.039.098 RTUP. Dari RTUP itu terdapat RTUP pengguna lahan dan bukan pengguna lahan. Di Sumatera Selatan RTUP pengguna lahan juga meningkat 8,56% menjadi 1.031.088 tahun 2018. Namun kenaikan RTUP pengguna lahan ini bersamaan dengan kenaikan rumah tangga petani gurem dari sebanyak 110.932 (2013) naik (24,52%) menjadi 138.134 (2018). Dengan begitu jumlah RTUP pengguna lahan seluas > 0,50 ha semakin banyak di Sumatera Selatan. “
  • 24. 16 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani Kenaikan jumlah RTUP itu berkebalikan dengan luas penguasaan terhadap lahan. Luas rata-rata penguasaan lahan di Sumatera Selatan mengalami penurunan dari 19.499,74 m2 (sawah pertanian seluas 18.928,78 m2 ) tahun 2013 menjadi 16.550.43 m2 (sawah pertanian seluas 15.921,06 m2 ) tahun 2018. Untuk rincian rata-rata penguasaan lahan pertanian sebagai berikut: Pada tahun 2018, sawah 2.231,74 m2 (sawah irigasi 538,94 m2 dan sawah non-irigasi 1.692,80 m2 ) dan bukan sawah 13.689,32 m2 , dan pada tahun 2013 rata-rata penguasaan lahan pertanian oleh RTUP untuk sawah sebanyak 3.211,59 m2 dan untuk lahan bukan sawah 15.717,19 m2 . Berdasarkan golongan luas lahan pertanian (sawah dan non-sawah) yang dikuasai (hektare) oleh RTUP pada tahun 2018, yaitu: (1) Luas < 0,50 sebanyak 145.435; (2) Luas 0,50-0,99 sebanyak 165.956; (3) Luas 1,00-1,99 sebanyak 368.967; (4) Luas 2,00-2,99 sebanyak 209.009; (5) Luas 3,00-3,99 sebanyak 70.371; (6) Luas 4,00-4,99 sebanyak 35.366; (7) Luas 5,00-9,99 sebanyak 29.393; dan (8) Luas ≥ 10,00 sebanyak 5.510. RTUP dengan golongan luas penguasaan 1,00-1,99 ha terbesar berjumlah 35,82 persen. 3. Tingkat Kesejahteraan 3.1. Nilai Tukar Petani Dari bulan Januari hingga Desember 2018 rata-rata NTP Gabungan (Tanaman Pangan, Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat, Pertenakan dan Perikanan) di Sumatera Selatan rata-rata sebesar 93,62 yang artinya bahwa terjadi penurunan tingkat kesejahteraan petani atau indeks yang diterima petani lebih rendah dibanding dengan indeks yang dibayar petani, rata-rata indeks yang diterima (It) petani sebesar 121,20 persen sedangkan indeks yang dibayar (Ib) petani 129,47 persen. Nilai NTP Gabungan terendah terjadi pada bulan Desember 2018, yaitu sebesar 91,5 dan NTUP terendah juga pada bulan Desember 2018, yaitu 98,48. Perubahan ini diakibatkan oleh turunnya indeks terima sebesar 0,34 % dan naiknya indeks bayar sebesar 0,65%. Kenaikan indeks bayar diakibatkan oleh kenaikan pengeluaran konsumsi rumah tangga petani sebesar 0,84%. Tingkat kenaikan terbesar ada di bahan pangan 1,47%, ditambah dengan kenaikan biaya produksi dan penambahan modal sebesar 0,14%, serta kenaikan pengeluaran obat-obatan dan pupuk sebesar 0,23%. Pada subsektor tanaman pangan NTP (NTPP) di tahun 2018 nilai rata-rata dari Januari hingga Desember kondisinya tidak jauh berbeda dengan NTP gabungan atau masih dibawah 100, yaitu 99,72. Rata-rata pertumbuhan negatifnya 0,09%, yang artinya telah terjadi penurunan tingkat kesejahteraan yang dialami oleh petani. Penurunan ini sangat siginifikan terjadi pada semester pertama (Januari-Juni) sebesar 1,04%. Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan negatif rata-rata indeks terima 0,51% dan terjadi pertumbuhan positif di indeks bayar sebesar 0,53%. Penurunan terbesar pada NTPP terjadi pada bulan Maret nilainya mencapai 2,39%. Penurunan ini terjadi disebabkan oleh terjadinya penurunan indeks harga pada kelompok tanaman padi sebesar 1,86% dan dan indeks harga pada kelompok tanaman palawija sebesar 1,93%, sedangkan terjadi kenaikan indeks bayar sebasar 0,53% pada kelompok konsumsi rumah tangga kenaikannya 0,64% yang tertinggi kenaikannya ada pada bahan makanan sebesar 1,14% dan untuk kelompok biaya produksi, serta penambahan modal 0,21% dengan kenaikan tertinggi ada pada transportasi 1,14%.
  • 25. 17 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar 95.66 96.17 95.34 94.01 94.27 93.65 92.17 92.22 92.94 93.09 92.42 91.51 103.61 103.94 103.29 101.86 102.52 102.19 100.84 100.65 100.21 100.04 98.96 98.48 112 114 116 118 120 122 124 126 128 130 132 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102 104 106 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) NTP NTUP Diagram 1.Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani Su- matera Selatan 2018 102.82 102.12 99.68 97.69 97.64 97.27 97.28 96.63 100.75 100.64 101.95 102.11 110.45 109.25 105.07 105.07 105.55 105.55 106.08 105.02 108.14 107.55 108.55 109.37 122 124 126 128 130 132 134 136 85 90 95 100 105 110 115 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) NTP NTUP Diagram 2. NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan Sumatera Selatan 2018 Kenaikan jumlah rumah tangga petani yang diikuti oleh peningkatan jumlah petani gurem dalam jangka waktu lima tahun terakhir tersebut (2013-2018), kemungkinan besar disebabkan oleh angka NTP yang selalu rendah. Sepanjang 2018, misalnya, angka NTP di Sumatera Selatan tidak pernah mencapai 100 atau nilai yang diperoleh petani dari hasil pertaniannya selalu lebih rendah dari pengeluaran yang harus ditanggungnya. 3.2. Kemiskinan, Konsumsi dan Kalori Mengacu pada Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) bulan Maret 2018, angka rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di Provinsi Sumatera Selatan sebesar Rp970.078. Jika dibandingkan antara daerah, rata-rata pengeluaran per kapita lebih kecil di perdesaan daripada di perkotaan, yaitu: Rp1.206.545/ kapita/bulan di kota dan Rp829.813/kapita/bulan di desa. Dari jumlah pengeluaran rata-rata per kapita per bulan sebesar Rp970.078 itu, porsi pengeluaran makanan (Rp503.297 atau 51,88%) lebih besar ketimbang non-makanan (Rp466.781 atau 48,12%). Pengeluaran di perdesaan lebih tinggi untuk makanan (55,97%) daripada non- makanan (44,03%), sedangkan di kota lebih besar non-makanan (52,86%) daripada makanan (47,14%). Dengan garis kemiskinan sebesar (Rp/ kapita/bulan) Rp397.150 (perkotaan Rp437.983 dan perdesaan Rp374.527), pada tahun 2018 golongan miskin sebanyak 1.068,27 ribu di Provinsi Sumatera. Pekerjaan golongan miskin ini berasal dari tidak bekerja 41%, bukan pertanian 7,84%, dan pertanian 51,16%. Di Sumatera Selatan pengeluaran pangan berasperkapita/bulansebanyak6,842kgdengan nilai Rp62.964. Pengeluaran beras di perdesaan lebih tinggi sebanyak 7,606 kg (Rp69.638) sedangkan di perkotaan sebesar 5,553 kg (Rp51.711). Kontribusi pangan beras dalam pengeluaran per kapita/bulan menyumbang sebesar 12% dari seluruh pengeluaran makanan, dan sebesar 6,4% dari seluruh pengeluaran makanan dan non-makanan. Sebagaimana diketahui bahwa 1 kg beras (beras lokal, kualitas unggul, impor) mengandung 3.622,00 kilokalori (kkal) dan 84,75 gram protein, 1 kg beras ketan mengandung 3.605,00 kkal dan 77,00 gram protein. Berdasarkan konsumsi pangan beras tersebut, pada tahun 2018 rata-rata konsumsi padi- padian sebanyak 884,61 Kilokalori (kkal) per kapita sehari, dan untuk beras/ketan sebanyak 826.01 kkal. Pada tingkat nasional, rata-rata konsumsi beras sebanyak 800,22 kkal dan ketan 2,52 kkal per kapita sehari. Sumber kalori tidak hanya berasal dari beras tapi juga dari sumber padi-padian lain (seperti jagung dan terigu) dan makanan konsumsi lainnya. Rata-rata konsumsi kalori di Sumatera Selatan sebesar 2.134,53 kkal, yang jenis padi-padian menyumbang paling besar sebanyak 884,61 kkal (41,44%). Dengan Sumber : Badan Pusat Statitik (BPS) Sumatera Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani dan Inflasi PedesaanPerdesaan Sumatera Selatan 2018 Sumber : Badan Pusat Statitik (BPS) Sumatera Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani dan Inflasi PedesaanPerdesaan Sumatera Selatan 2018
  • 26. 18 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani angka patokan kecukupan kalori/energi per kapita sehari untuk penduduk Indonesia sebesar 2.150 kkal, maka rata-rata konsumsi kalori di Sumatera Selatan masih berada di bawah angka patokan. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) golongan miskin pada Maret 2018 berturut- turut sebanyak 45,71 ribu (12,61%) dan 25,78 ribu (13,81%). Dari segi persentase, tingkat kemiskinan di OKU menempati peringkat 9 dari beberapa kabupaten/kota di Sumatera Selatan (Musi Rawas Utara 19,12%; Musi Banyuasin 16,52%; Lahat 16,15%; OKI 15,28%; PALI 13,81%; Musi Rawas 13,76%; Ogan Ilir 13,19%; dan Lubuk Linggau 13,02%). Dengan garis kemiskinan (Rp/ Kapita/Bulan) sebesar Rp415.785 di OKU, dan Rp377.160 di PALI, maka sebanyak 68,31%, dan 63,19% dikeluarkan untuk makanan pada masing-masing kabupaten. Jumlah penduduk miskin di OKU berasal dari tiga sektor pekerjaan, yaitu: tidak bekerja 43,02%, bukan di sektor pertanian 4,25%, dan sektor pertanian 52,73%. Tidak berbeda jauh dengan OKU, di PALI sektor pekerjaan yang menyumbang pada tingkat kemiskinan berasal dari tidak bekerja 33,93%, bukan di sektor pertanian 7,67 %, dan sektor pertanian 58,40%. Dengan begitu, pekerjaan di sektor pertanian menyumbang besar pada jumlah kemiskinan di dua kabupaten tersebut. OKU dan PALI sebagai daerah yang paling kekurangan pasokan beras memiliki porsi penduduk sangat miskin sampai dengan rentan miskin hampir setengah dari keseluruhan penduduk di masing-masing kabupaten. Di OKU penduduk yang tergolong sangat miskin sampai dengan rentan miskin pada 2019 mencapai 45,57%, sedangkan di PALI sedikit lebih rendah yaitu 38,67%. Kedua angka proporsi penduduk miskin ini masing-masing sedikit berada di atas dan di bawah persentase rata-rata penduduk miskin di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Selatan, yaitu: 42,82%. Kondisi ini memberi sinyal bahaya bahwa kemiskinan di daerah-daerah defisit beras berimplikasi pada kenaikan pengeluaran untuk makan yang lebih besar, sehingga berpeluang membuat penduduk yang rentan miskin dan hampir miskin menjadi lebih miskin lagi, jika tidak ada peluang ekonomi yang lebih baik. OKU dan PALI sebagai daerah yang paling kekurangan pasokan beras memiliki porsi penduduk sangat miskin sampai dengan rentan miskin hampir setengah dari keseluruhan penduduk di masing-masing kabupaten. Di OKU penduduk yang tergolong sangat miskin sampai dengan rentan miskin pada 2019 mencapai 45,57%, sedangkan di PALI sedikit lebih rendah yaitu 38,67%. “
  • 27. 19 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar Foto: Aji Wihardandi Sumber : jkpp.org Negara-negara harus memastikan bahwa petani dan orang yang bekerja di pedesaan mendapatkan akses fisik dan ekonomis kapan pun untuk mendapatkan pangan yang layak dan memadai yang diproduksi dan dikonsumsi secara berkelanjutan dan merata, yang menghormati budaya mereka, yang menjaga akses pangan untuk generasi mendatang Pasal 15 ayat 2 - United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas
  • 28. 20 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS KALIMANTAN TENGAH 2.660.209 Jiwa Jumlah Penduduk PERMINTAAN BERAS Konsumsi Beras 231.970,22 Ton/tahun Rata-rata konsumsi setiap penduduk 87,2 kg/kapita/tahun atau 0,0872 ton/kapita/tahun PASOKAN BERAS Luas Panen 202.142 Ha Produksi GKG 742.758 ton/tahun setara Beras 438.937 Ton/Tahun dengan nilai konversi GKP ke Beras rata - rata 59,09% = KATEGORI DEFISIT < 0,0654 - 0,0871 Ton Kapita/Tahun CUKUP 0,0872 - 0,1090 Ton Kapita/Tahun SURPLUS 0,1091 - di atas 0,1308 Ton Kapita/Tahun KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA 1. Kotawaringin Barat 2. Kotawaringin Timur 3. Barito Selatan 4. Barito Utara 5. Sukamara 6. Lamandau 7. Seruyan 8. Gunung Mas 9. Murung Raya 10. Palangkaraya (Kota) = 1. Barito Timur 1. Kapuas 2. Katingan 3. Pulang Pisau Grafik Pasokan Beras di Kalimantan Tengah Tahun 2018 Perorang/Ton/Kapita/Tahun 2018 0.0020 0.0851 0.7941 0.0314 0.0254 0.0205 0.0760 0.0321 0.1774 0.3889 0.0119 0.1056 0.0142 0.0001 0.1650 KotawaringinBarat KotawaringinTimur Kapuas BaritoSelatan BaritoUtara Sukamara Lamandau Seruyan Katingan PulangPisau GunungMas BaritoTimur MurungRaya Palangkaraya/Kota KalimantanTengah
  • 29. 21 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN KALIMANTAN TENGAH2018 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian 287.868 RTUP 89.643 RTUP yang mengusahakan tanaman padi. Penggunaan Lahan 276.746 RTUP Terdapat kenaikan rumah tangga petani gurem dari sebanyak 77,40% dari 29.083 (2013) menjadi 51.594 (2018) Penguasaan Lahan Rata - Rata 20.363,61 m2 terdapat 59.111 RTUP luas penguasaan lahan pertanian sebesar < 0,50 Ha TINGKAT KESEJAHTERAAN Nilai Tukar Petani Rata - Rata NTP Sub Sektor Tanaman Pangan 95,84 dari Januari - Desember 2018 rata-rata indeks yang dibayarkan petani (Ib) setiap bulannya untuk kebutuhan konsumsi dan produksi sebesar 0,43% lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata peningkatan indeks yang diterima petani (It) setiap bulan hanya sebesar 0,20% Rp Penduduk Golongan Miskin 136,93 ribu Jiwa Pekerjaan Golongan Miskin : 37,16% Tidak Bekerja 12,39% Bukan Pertanian 50,45% Pertanian
  • 30. 22 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani Provinsi Kalimantan Tengah Gambar 3. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 (Kementerian Pertanian, 2019) Kondisi pangan di provinsi Kalimantan Tengah digambarkan pada peta ketahanan dan kerentanan pangan yang diterbitkan Kementerian Pertanian pada 2019 sebagai wilayah yang memiliki beberapa kabupaten prioritas 2-3 atau rentan pangan, dan sebagian besar berada pada prioritas 4-6 atau tahan pangan. Gambaran tersebut jika dianalisis lebih rinci sebagaimana digambarkan pada bagian selanjutnya dari laporan ini didapatkan bahwa Kalimantan Tengah memang masih mampu mencukupi kebutuhan berasnya sendiri atau surplus. Namun demikian, status surplus bukan merupakan representasi dari kondisi kecukupan di daerah-daerah defisit beras, terutama kaitannya dengan kesejahteraan petani dan akses terhadap pangan dan/atau lahan pertanian. Mengapa demikian? Bagian selanjutnya akan menjelaskan hal tersebut. 1. Pasokan-Permintaan Beras Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas 14 kabupaten/kotadenganluasdaerahadministratif 15.433.397.93 ha. Jumlah penduduk pada tahun 2018 sebanyak 2.660.209 jiwa. Kabupaten/ Kota terluas dan tersempit secara berurutan di Murung Jaya 15,46%, dan di Palangkaraya 1,69%. Sementara penduduk terbanyak pada tahun 2018 berada di Kotawaringin Timur (17,16%) dan terkecil di Sukamara (2,33%). Kebutuhan beras pada tahun 2018 sebanyak 231.970,22 ton dengan konsumsi per kapita per tahun sebanyak 0,0872 ton. Produksi padi setara beras pada tahun 2018 sebanyak 438.937 ton.
  • 31. 23 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk (Jiwa)* Permintaan (Permintaan) Pasokan (Ketersedian) KeteranganKonsumsi Beras Per orang/kap/ tahun (ton)** Kebutu- han beras (ton) Luas Panen (Ha)* Produksi GKG (Ton)* Produkti- vitas (Ton/ ha)* Produksi Padi Setara Beras (Ton)* Pasokan Beras (Ton) Nilai Konversi GKG ke Beras (%) Kotawaringin Barat 304.082 0,0872 26.515,95 319 1.028 3,223 606 0,0020 58,9494 Defisit Kotawaringin Timur 456.409 0,0872 39.798,86 19.797 65.759 3,322 38.862 0,0851 59,0976 Defisit Kapuas 356.382 0,0872 31.076,51 116.538 478.898 4,109 283.007 0,7941 59,0955 Surplus Barito Selatan 135.736 0,0872 11.836,18 2.142 7.202 3,362 4.256 0,0314 59,0947 Defisit Barito Utara 130.019 0,0872 11.337,66 1.998 5.587 2,796 3.303 0,0254 59,1194 Defisit Sukamara 62.044 0,0872 5.410,24 909 2.153 2,369 1.273 0,0205 59,1268 Defisit Lamandau 80.512 0,0872 7.020,65 3.295 10.347 3,14 6.115 0,0760 59,0993 Defisit Seruyan 197.839 0,0872 17.251,56 4.806 10.753 2,237 6.354 0,0321 59,0905 Defisit Katingan 167.706 0,0872 14.623,96 16.611 50.336 3,03 29.746 0,1774 59,0949 Surplus Pulang Pisau 126.657 0,0872 11.044,49 25.782 83.354 3,233 49.258 0,3889 59,0949 Surplus Gunung Mas 117.457 0,0872 10.242,25 1.064 2.369 2,227 1.401 0,0119 59,1389 Defisit Barito Timur 123.557 0,0872 10.774,17 7.051 22.084 3,132 13.051 0,1056 59,0971 Cukup Murung Raya 118.197 0,0872 10.306,78 1.819 2.852 1,568 1.684 0,0142 59,0463 Defisit Palangkaraya/ Kota 283.612 0,0872 24.730,97 11 36 3,273 21 0,0001 58,3333 Defisit Kalimantan Tengah 2.660.209 0,0872 231.970,22 202.142 742.758 3,674 438.937 0,1650 59,0956 Surplus Sumber: * Provinsi Kalimantan Tengah Dalam Angka 2019 (BPS) ** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian) Tabel 2. Analisis Pasokan-Permintaan Beras di Kalimantan Tengah pada 2018 Dari 14 kabupaten/kota di Kalimantan Tengah itu, hanya 3 kabupaten saja yang dinyatakan surplus produksi beras. Kabupaten yang surplus produksi beras antara lain Kapuas, Katingan, dan Pulang Pisau. Dari 9 kabupaten yang dinyatakan defisit beras, terdapat 6 kabupaten tingkat defisitnya lebih dari 50% seperti Kabupaten Kotawaringin Barat tingkat defisitnya 97,71%, Gunung Mas 86,32%, Murung Raya 83,66%, Sukamara 76,47%, Barito Utara 70,87 % dan Seruyam 63,17%. Kota Palangkaraya mengalami defisit pangan dengan tingkat defisit 99,92%, Tabel produksi beras di Kalimantan Tengah di Tabel 2. Padatahun2019produksipaditertinggiberada di Kabupaten Kapuas. Angka produksi padi di Kabupaten Kapuas selama tahun 2019 mencapai 203.408,15 ton dari total luas panen 61.979,64 ha. Sementara produksi padi se-provinsi Kalteng pada tahun 2019 adalah sebanyak 443.561,33 ton. Sehingga Kabupaten Kapuas saja telah menyumbang hampir setengah pasokan padi Provinsi Kalimantan Tengah, tepatnya 45,86 persen. Dibandingkan dengan tahun 2018, terjadi penurunan produksi padi yang cukup signifikan pada tahun 2019. Produksi padi tahun 2018 mencapai 514.769,05 ton atau turun sebanyak 71.207,72 ton. Sementara untuk produktivitas padi per hektarenya, Kabupaten Kapuas masih berada di peringkat kedua dengan hanya 32,82 ton/ha sementara produktivitas tertinggi padi berada di Kabupaten Lamandau yang dapat menghasilkan hingga 35,56 ton/ha. Rata-rata produktivitas padi di Provinsi Kalimantan Tengah pada 2019 adalah 28,45 ton/ha.
  • 32. 24 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani Gambar 4. Peta Kerawanan Pangan di Kalimantan Tengah Tingginya angka defisit seperti di Kabupaten Kotawaringin Barat yang mencapai hingga 97,71%, sebagai akibat dari sempitnya luas lahan panen yang hanya 319 ha atau 0,4% dari luas wilayah administrasinya. Jika dibandingkan, luas konsensidiKotawaringinBaratsebesar210.481,81 ha yang luasan tersebut 660 kali dari luas lahan panen. Gunung Mas juga dikategorikan dengan tingkat defisit sangat tinggi 86,32%. Keberadaan luas konsesi di Gunung Mas mencapai 77,17% dari luas administrasinya atau 733 kali luas lahan panen. Kondisi Barito Timur menggambarkan bahwa sekalipun hasil perhitungan dinyatakan surplus, namun angka surplus 21,13% sangat rentan untuk menjadi defisit. Sebab terlihat masifnya konsensi di Barito Timur yang luasanya sampai 87,91% dari luas wilayah administratifnya. Selain sempitnya luas lahan panen dan tingkat produktivitas tanaman padi di kabupaten yang dinyatakan defisit maupun surplus serta pada umumnya di Kalimantan Tengah lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat produktivitas nasional di tahun 2018 sebesar 5,192 ton/ha2 . Misalnya, di Kabupaten Seruyan lebih rendah 56,91% sedangkan untuk rata-rata produktivitas tanaman padi di Kalimantan Tengah lebih rendah 29,24% dari rata-rata produktivitas tanaman padi nasional. 2. Petani dan Lahan Pertanian Mengacu pada SUTAS 2018 petani di Kalimantan Tengah berjumlah 367.439 orang (laki-laki 267.867 dan perempuan 99.572) atau 0,20% dari total jumlah petani di Indonesia pada tahun 2018. Dari jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) di Kalimantan Tengah sebanyak 287.868 RTUP (1,03%), terdapat 3. https://www.pertanian.go.id/Data5tahun/TPATAP-2017(pdf)/30-ProdtvPadi.pdf
  • 33. 25 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar 89.643 RTUP di subsektor tanaman pangan (padi), dan selebihnya tersebar pada subsektor yang lain. Dari RTUP sebesar 1,03% itu pula, sebanyak 58.044 RTUP jenis usaha utama yang diusahakan mereka berada di subsektor tanaman pangan padi. Sekalipun jenis usaha utama di tanaman padi, namun terdapat 15.968 RTUP yang tidak mengandalkan pada tanaman pangan padi sebagai sumber penghasilan utama mereka. Sebaliknya, yang mengandalkan sumber penghasilan utama dari tanaman pangan padi sebanyak 42.076 RTUP. RTUP sebanyak 287.868 itu terbagi dalam RTUP pengguna lahan dan bukan pengguna lahan. Jumlah rumah tangga pengguna lahan di Kalimantan Tengah meningkat 5,94% dari 261.227 (2013) menjadi 276 746 (2018). Kenaikan itu diikuti dengan kenaikan rumah tangga petani gurem 77,40% dari 29.083 (2013) menjadi 51.594 (2018). Peningkatan jumlah petani gurem itu bersamaan pola dengan kondisi penurunan luas lahan pertanian (sawah dan non-sawah) yang dikuasai RTUP, yaitu: dari rata-rata 30.202,03 m2 (2013) menjadi rata-rata 20.363,61 m2 (2018). Bila diklasifikasikan berdasarkan kategori luasan lahan pertanian yang dikuasai (ha) oleh rumah tangga pertanian sebagai berikut: (1) Luas < 0,50 sebanyak 59.111; (2) Luas 0,50-0,99 sebanyak 34.714; (3) Luas 1,00-1,99 sebanyak 71.296; (4) Luas 2,00-2,99 sebanyak 49.155; (5) Luas 3,00-3,99 sebanyak 22.082; (6) Luas 4,00-4,99 sebanyak 13.577; (7) Luas 5,00-9,99 sebanyak 20.145; dan (8) Luas ≥ 10,00 sebanyak 6.478. Golongan luas lahan pertanian 1,00-1,99 ha sebanyak 25,78% RTP dan golongan paling besar >10,00 ha berjumlah 2,34% RTP. Peningkatan jumlah petani gurem itu bersamaan pola dengan kondisi penurunan luas lahan pertanian (sawah dan non-sawah) yang dikuasai RTUP 3.Tingkat Kesejahteraan 3.1. Nilai Tukar Petani (NTP) NTP gabungan (Tanaman Pangan, Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat, Pertenakan dan Perikanan) di Kalimantan Tengah selama tahun 2018 bernilai 96,76% atau dibawah 100, hal ini diakibatkan oleh kenaikan rata-rata indeks yang dibayar petani sebesar 4,06% lebih besar dengan jika dibandingkan dengan indeks harga yang diterima petani sebesar 1,16%, artinya terjadi penurunan tingkat kesejahteraan petani di Kalimantan Tengah dan jika dibandingkan dengan NTP gabungan rata- rata di tahun 2017 yang bernilai 98,60%, maka di tahun 2018 terjadi penurunan NTP gabungan sebesar 1,84%. Penurunan juga terjadi pada rata- rata NTUP 2018 sebesar 104,61%, nilainya turun 1,095 jika dibandingkan dengan rata-rata NTUP 2017sebesar105,70%.Penurunaninidiakibatkan oleh indeks harga yang dibayar untuk BPPBM (Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal) sebesar 2,76% lebih besar dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang diterima petani sebesar 1,61%. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama tahun 2018 kenaikan tingkat harga komoditas pertanian lebih tinggi atau tidak dapat mengimbangi kenaikan harga barang dan jasa untuk proses produksi. Sedangkan pada subsektor tanaman pangan (padi dan palawija) yang berkaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan pokok atau dasar bagi masyarakat sehingga menempati posisi yang paling strategis, sepanjang tahun 2018 rata-rata NTP subsektor tanaman pangan, (NTPP) nasibnya tidak jauh berbeda dengan NTP gabungan, angkanya masih dibawah 100 yaitu sebesar 95,84%, dimana rata-rata indeks yang dibayarkan petani (Ib) setiap bulannya untuk kebutuhan konsumsi dan produksi sebesar 0,43% lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata peningkatan indeks yang diterima petani (It) setiap bulan hanya sebesar 0,20% dan pada kelompok tanaman padi sepanjang “
  • 34. 26 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani 2018 rata-rata peningkatan indeks harganya sebesar 0,34% dan palawija sebesar 0,64%. NTPP tertingi terjadi di awal tahun pada bulan Januari bernilai 98,92% dan kemudian mengalami penurunan yang signifikan hingga akhir semester pertama (Juni) dengan rata-rata tingkat penurunan sebesar 0,43%. Jika dilihat dari tingkat perubahan NTP-nya (month-to- month), penurunan tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan nilai sampai sebesar -1,32%. Sedangkan saat dilihat berdasarkan besaran NTP-nya, nilai NTPP terendah sepanjang tahun 2018 terjadi pada awal semester ke II (Juli) sebesar 93,80. Hal ini diakibatkan oleh indeks yang harus dibayar petani (Ib) bernilai 132,8, kebutuhan konsumsi mempunyai peran yang cukup besar untuk mempengaruhi turunnya nilai NTP pada subsektor tanaman pangan atau dapat dikatakan bahwa indeks harga konsumsi rumah tangga petani lebih tinggi jika dibanding dengan indeks harga biaya produksi ataupun penambahan barang modal. lebih besar 8,23% dibanding dengan indeks yang diterima petani (IT) yang hanya 123,6. Besarnya nilai IB diakibatkan karena pada kelompok konsumsi Rumah Tangga pengeluaran terbesar ada di bahan makanan bernilai 136,55 dan pada kelompok BPPBM pengeluaran terbesar ada pada transportasi yang indeksnya mencapai nilai 136,36. Di sisi lain NTPP pada tahun 2018 berada pada posisi terendah setelah tanaman perkebunan rakyat, hal ini menunjukkan bahwa NTPP dari segi produksi tidak sebaik subsektor lain. UntukNTUPpadasubsektortanamanpangan dapat dikatakan masih rendah dengan nilai rata-rata sebesar 95,84%, terjadi penurunan nilai (month-to-month) sebesar 0,06 persen pada tahun 2018. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan konsumsi mempunyai peran yang cukup besar untuk mempengaruhi turunnya nilai NTP pada subsektor tanaman pangan atau dapat dikatakan bahwa indeks harga konsumsi rumah tangga petani lebih tinggi jika dibanding dengan indeks harga biaya produksi ataupun penambahan barang modal. 106.4 106.49 105.73 104.66 104.73 105.63 104.68 104.42 103.25 103.45 102.97 102.9 118 120 122 124 126 128 130 132 88 90 92 94 96 98 100 102 104 106 108 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Indeks Harga Diterima Petani (lt) Indeks Harga Dibayar Petani (lb) NTP NTUP 98.92 97.95 96.63 95.53 94.45 94.13 93.8 94.54 94.55 94.43 93.97 94.78 98.89 97.86 96.62 95.99 95.15 95.22 95.29 95.34 94.96 94.73 94.23 95.77 118 120 122 124 126 128 130 132 134 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Indeks Harga Diterima Petani (lt) Indeks Harga Dibayar Petani (lb) NTP NTUP Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Kalimantan Tengah. 2019. Nilai Tukar Petani Provinsi Kalimantan Tengah 2018 Diagram 3. Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani Kalimantan Tengah 2018 Diagram 4. NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan Kalimantan Tengah 2018 Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Kalimantan Tengah. 2019. Nilai Tukar Petani Provinsi Kalimantan Tengah 2018 “
  • 35. 27 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar 3.2. Kemiskinan, Konsumi dan Kalori Garis kemiskinan di Kalimantan Tengah sebesar Rp413.529 (Rp/kapita/bulan) pada tahun 2018 dengan rincian di perkotaan Rp387.139 dan di perdesaan sebesar Rp426.596. Mengacu pada patokan garis kemiskinan sebesar itu, maka di Kalimantan Tengah terdapat 136,93 ribu penduduk miskin atau sebesar 5,17%. Berdasarkan sektor pekerjaan, golongan miskin itu berasal dari kelompok tidak bekerja 37,16%, bukan di sektor pertanian 12,39% dan sektor pertanian 50,45%. Sebanyak 64,07% pengeluaran golongan miskin digunakan untuk makanan. Dari segi persentase jumlah penduduk miskin, terdapat 10 kabupaten/kota tertinggi di Kalimantan Tengah sebagai berikut: Seruyan (7,43%), Barito Timur (6,56%), Murung Raya (6,28%), Kotawaringin Timur (6,21%), Katingan (5,22%), Kapuas (5,20%), Gunung Mas (5,10%), Barito Selatan (4,55%), Pulang Pisau (4,51%) dan Kotawaringin Barat (4,27%). PengeluaranperkapitaperbulandiKalimantan Tengah rata-rata sebesar Rp1.224.307 yang terbagi antara makanan dan non-makanan berturut-turut sebesar Rp632.493 (51,66%) dan Rp591.814 (48,34%). Berdasarkan daerah kota dan desa, rata-rata pengeluaran per kapita di perkotaan Rp1.414.633/bulan dan di perdesaan Rp1.104.915/bulan. Dari persentase total pengeluaran per kapita per bulan, bagian pengeluaran makanan lebih besar di perdesaan daripada di perkotaan (46,67% perkotaan dan 55,67% perdesaan). Sebaliknya, bagian pengeluaran non makanan lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan (53,33% di perkotaan dan 44,33% di perdesaan). Di Provinsi Kalimantan Tengah, pengeluaran per kapita per bulan untuk pangan beras sebesar 11,5% dari rata-rata pengeluaran makanan, dan sebesar 5,9% dari rata-rata pengeluaran makanan dan non-makanan. Pengeluaran beras per kapita per bulan sebanyak 6,860 kg (setara Rp73.111) dengan rincian di perkotaan sebanyak 5,863 kg (Rp59.657) dan di perdesaan sebanyak 7,486 kg (Rp81.551). Konsumsi beras per kapita per bulan lebih banyak di perdesaan daripada di perkotaan. Dari segi konsumsi kalori, di Kalimantan Tengah rata-rata konsumsi kalori per kapita sehari untuk padi-padian sebanyak 859,11 kilokalori (kkal) atau 38,39% dari total jumlah kkal yang dikonsumsi. Secara keseluruhan di Kalimantan Tengah sebanyak 2.181,57 kkal yang dikonsumsi per kapita per hari berasal dari berbagai jenis makanan seperti padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah- buahan, minyak dan kelapa, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan jadi dan minuman jadi. Angka kalori sebanyak itu lebih besar dari patokan yang ditentukan. Berdasarkan perhitungan garis kemiskinan Rp413.529 bahwa pendapatan per kapita per bulan sejumlah itu, seorang penduduk di Kalimantan Tengah akan menggunakan seluruh pendapatannya untuk kebutuhan makan per hari sebesar Rp13.784. Uang sejumlah itu bagi pendudukkelasmenengahbawahbisadigunakan untuk satu porsi nasi kuning, satu porsi mie instan dan segelas teh atau setara dengan 2.100 kalori untuk kebutuhan fisik minimum per orang dewasa per hari. Berdasarkan rujukan garis kemiskinan tersebut, sebesar 54,17% dari total Berdasarkan perhitungan garis kemiskinan Rp413.529 bahwa pendapatan per kapita per bulan sejumlah itu, seorang penduduk di Kalimantan Tengah akan menggunakan seluruh pendapatannya untuk kebutuhan makan per hari sebesar Rp13.784. “
  • 36. 28 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Tengah berada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Kapuas, dan Seruyan (BPS Kalteng 2018).3 Di kabupaten-kabupaten defisit beras, seperti Kotawaringin Barat, terdapat 4,27% penduduknya tergolong miskin dan lebih dari setengah penduduk miskin bukan orang yang bekerja di sektor pertanian, sehingga dapat dipastikan harus mengakses makanan dengan membeli. Kondisi yang sama juga terdapat di Kabupaten Gunung Mas yang penduduknya masih harus menggunakan 64,73% daripendapatanuntukbiayamakan, karena lebih dari setengah dari penduduk miskin tidak bekerja di sektor pertanian. Oleh sebab itu, angka kemiskinan di Gunung Mas sedikit lebih tinggi dari Kotawaringin Barat, yaitu 5,10%. Sementara itu, di Barito Timur yang angka surplus berasnya hampir defisit, angka kemiskinan justru meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dan paling tinggi diantara tiga kabupaten ini, yaitu 6,56%. Dari gambaran ketiga kabupaten yang rawan dalam persediaan beras, kemiskinan penduduknya terancam semakin parah, karena 2/3 dari pendapatan penduduk sudah dihabiskan hanya untuk makan. 3 BPS Kalteng. 2018. Potret Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2018.
  • 37. 29 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar Lahan gambut sisa terbakar tahun 2015, terletak di eks PLG Sejuta Hektar Kalteng. Foto: Ridzki R. Sigit Sumber : www.mongabay.co.id Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Pasal 1 ayat 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
  • 38. 30 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS SULAWESI SELATAN 8.771.070 Jiwa Jumlah Penduduk PERMINTAAN BERAS Konsumsi Beras 1.006.144,96 Ton/tahun Rata-rata konsumsi setiap penduduk 114,7 kg/kapita/tahun atau 0,1147 ton/ kapita/tahun PASOKAN BERAS Luas Panen 1.155.702 Ha Produksi GKG 5.804.947 ton/tahun setara Beras 3.313.944 Ton/Tahun dengan nilai konversi GKP ke Beras rata - rata 57,09% = KATEGORI DEFISIT < 0,0860 - 0,1146 Ton Kapita/Tahun CUKUP 0,1147 - 0,1434 Ton Kapita/Tahun SURPLUS 0,1435 - di atas 0,1721 Ton Kapita/Tahun KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA 1. Kep Selayar 2. Makasar (Kota) 3. Pare - Pare (Kota) 4. Palopo (Kota) 1. Bulukumba 2. Bantaeng 3. Jeneponto 4. Takalar 5. Gowa 6. Sinjai 7. Maros 8. Pangkep 9. Barru 10. Bone Grafik Pasokan Beras di Sulawesi Selatan Tahun 2018 Perorang/Ton/Kapita/Tahun 2018 0.0003 0.2979 0.2805 0.3985 0.2684 0.2175 0.2929 0.3633 0.2344 0.4688 0.7716 0.7192 1.2464 0.9555 0.8805 0.1637 0.4611 0.2281 0.2876 0.3707 0.2574 0.0052 0.0307 0.0707 0.3778 Kep.Selayar Bulukumba Bantaeng Janeponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu TanaToraja LuwuUtara LuwuTimur TorajaUtara Makasar/Kota ParePare/Kota Palopo/Kota SulawesiSelatan11. Soppeng 12. Wajo 13. Sidrap 14. Pinrang 15. Enrekang 16. Luwu 17. Tana Toraja 18. Luwu Utara 19. Luwu Timur 20. Toraja Utara
  • 39. 31 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN SULAWESI SELATAN 2018 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian 1.015.232 RTUP 596.427 RTUP yang mengusahakan tanaman padi. Penggunaan Lahan 985.088 RTUP Terdapat kenaikan rumah tangga petani gurem dari sebanyak 7,78 % dari 338.108 (2013) menjadi 364.426 (2018) Penguasaan Lahan Rata - Rata 23.156,57 m2 tahun 2013 yang rata-rata seluas 30.980,60 m2 , Terdapat sebanyak 341.933 RTUP penguasaan lahan pertanian sebesar Luas < 0,50 Ha TINGKAT KESEJAHTERAAN Nilai Tukar Petani Rata - Rata NTP Sub Sektor Tanaman Pangan 99.45 dari Januari - Desember 2018 It atau Indeks harga yang diterima petani rata - rata 134,99 lebih kecil dengan rata - rata lb atau indeks harga yang dibayar petani yang nilainya 135,74 Rp Penduduk Golongan Miskin 792,64 ribu Jiwa Pekerjaan Golongan Miskin : 45,08% Tidak Bekerja 20,32% Bukan Pertanian 34,60% Pertanian
  • 40. 32 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 5. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 Kementerian Pertanian Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung pangan nasional sejak berdekade lalu tentu saja harus memiliki status tahan pangan dan memiliki surplus untuk distribusi nasional, sebagaimana digambarkan pada peta ketahananan dan kerentanan pangan di atas (Kementerian Pertanian 2019). Namun demikian, dengan analisis Pasokan-Permintaan ditemukan kondisi defisit di satu kabupaten kepulauan dan beberapa kota. Telaah lebih lanjut mengenai wilayah-wilayah defisit ini menunjukkan kondisi ibarat tikus mati di lumbung beras, karena kondisi defisit beras tersebut diiringi pula oleh defisit kesejahteraan. Selain itu, analisis terhadap kondisi petani dan penguasaan lahan pertanian juga menunjukkan kecenderungan pada penurunan kesejahteraan petani yang ditandai oleh peningkatan jumlah petani gurem dan NTP yang sangat fluktuatif di Sulawesi Selatan. 1. Pasokan-Permintaan Pangan Sulawesi Selatan memiliki luas panen pada tahun 2018 seluas 1.155.702 ha dan menghasilkan 5.804.976 ton GKG (dengan rata- rata tingkat produktivitas 5.02 ton/ha) atau setara beras 3.313.944 ton. Jumlah produksi beras tersebut mampu menyediakan beras untuk setiap penduduk di tahun 2018 yang berjumlah 8.771.070 jiwa sebanyak 377,8 kg/kapita/ tahun. Jumlah ini 3 kali lebih besar dari rata- rata konsumsi beras setiap penduduknya dalam satu tahun. Oleh sebab itu, Sulawesi Selatan dapat menjadi sumber pasokan beras secara nasional. Hal ini juga ditandai oleh konsistennya produktivitas lahan produksi padi di 24 provinsi kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, karena hanya satu wilayah kabupaten mengalami defisit produksi beras yaitu Kabupaten Kepulauan
  • 41. 33 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar Selayar. Bisa dipahami jika semua wilayah administrasi kota mengalami defisit produksi beras, tentunya karena tidak lagi memiliki lahan sawah untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Sawah yang ada di Sulawesi Selatan (Sulsel) dibagi menjadi dua berdasarkan jenisnya, yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka walaupun luas lahan sawah di Sulsel mencapai 663.254 ha, namun luas sawah panen di Sulsel mencapai 995.335 ha per tahun. Kemudian dari luas lahan sawah yang ada saat ini, baik sawah baku maupun sawah panen, produksi beras di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 5.292.151 ton per Kabupaten/ Kota Jumlah Penduduk (Jiwa)* Permintaan (Permintaan) Pasokan (Ketersedian) KeteranganKonsumsi Beras Per orang/ kap/ tahun (ton)** Kebutuhan beras (ton) Luas Panen (Ha)* Produksi GKG (Ton)* Produkti- vitas (Ton/ ha) Produksi Padi Setara Beras (Ton)* Pasokan Beras (Ton) Nilai Kon- versi GKG ke Beras (%) Kep. Selayar 134.280 0,1147 15.401,92 15 69 4,60 40 0,0003 57,97 defisit Bulukumba 418.326 0,1147 47.981,99 43.121 218.259 5,06 124.602 0,2979 57,09 surplus Bantaeng 186.612 0,1147 21.404,40 18.043 91.688 5,08 52.341 0,2805 57,09 surplus Jeneponto 361.793 0,1147 41.497,66 45.365 252.519 5,57 144.158 0,3985 57,09 surplus Takalar 295.892 0,1147 33.938,81 32.707 139.125 4,25 79.423 0,2684 57,09 surplus Gowa 760.607 0,1147 87.241,62 56.752 289.731 5,11 165.401 0,2175 57,09 surplus Sinjai 242.672 0,1147 27.834,48 25.238 124.494 4,93 71.071 0,2929 57,09 surplus Maros 349.822 0,1147 40.124,58 47.940 222.640 4,64 127.102 0,3633 57,09 surplus Pangkep 332.674 0,1147 38.157,71 31.013 136.567 4,40 77.963 0,2344 57,09 surplus Barru 173.623 0,1147 19.914,56 26.461 142.591 5,39 81.402 0,4688 57,09 surplus Bone 754.894 0,1147 86.586,34 211.851 1.020.365 4,82 582.507 0,7716 57,09 surplus Soppeng 226.770 0,1147 26.010,52 53.365 285.687 5,35 163.093 0,7192 57,09 surplus Wajo 396.810 0,1147 45.514,11 187.657 866.344 4,62 494.579 1,2464 57,09 surplus Sidrap 299.123 0,1147 34.309,41 85.787 500.650 5,84 285.808 0,9555 57,09 surplus Pinrang 374.583 0,1147 42.964,67 96.809 577.741 5,97 329.821 0,8805 57,09 surplus Enrekang 204.827 0,1147 23.493,66 11.263 58.745 5,22 33.537 0,1637 57,09 surplus Luwu 359.209 0,1147 41.201,27 59.157 290.122 4,90 165.625 0,4611 57,09 surplus Tana Toraja 232.821 0,1147 26.704,57 21.218 93.007 4,38 53.096 0,2281 57,09 surplus Luwu Utara 310.470 0,1147 35.610,91 32.781 156.392 4,77 89.281 0,2876 57,09 surplus Luwu Timur 293.822 0,1147 33.701,38 35.710 190.793 5,34 108.919 0,3707 57,09 surplus Toraja Utara 229.798 0,1147 26.357,83 25.704 103.600 4,03 59.144 0,2574 57,09 surplus Makassar/Kota 1.508.154 0,1147 172.985,26 2.844 13.734 4,83 7.841 0,0052 57,09 defisit Parepare/Kota 143.710 0,1147 16.483,54 1.342 7.737 5,77 4.417 0,0307 57,09 defisit Palopo/Kota 180.678 0,1147 20.723,77 3.559 22.376 6,29 12.773 0,0707 57,09 defisit Sulawesi Selatan 8.771.970 0,1147 1.006.144,96 1.155.702 5804.976 5,02 3.313.944 0,3778 57,09 surplus tahun. Artinya, rata-rata produksi beras di Sulsel setiap hektare mencapai 7,98 ton per tahun, di mana Kabupaten Bone, Wajo dan Pinrang masih berada di posisi atas sebagai daerah produsen pangan terbesar di Sulawesi Selatan. Sementara daerah yang paling kecil memproduksi pangan yakni Kota Parepare, Kota Makassar dan Kabupaten Kepulauan Selayar. Sempitnya luas panen di Kabupaten Kepulauan Selayar berdampak pada tingginya nilai defisit produksi beras yang mencapai 99,74%. Agar mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras, maka dibutuhkan luas panen 5.777,72 ha atau 385 kali dari luas panen pada tahun 2018. Jika Sumber : * Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka 2019 (BPS). ** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian) Tabel 3. Analisis Pasokan-Permintaan Produksi Beras di Sulawesi Selatan 2018
  • 42. 34 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani dilihat dari penggunaan lahan, sebesar 20,13% wilayah Kepulauan Selayar masih berupa kawasan hutan dan di sisi lain sebesar 31,01% sudah dalam bentuk IUP. Sementara untuk kabupaten yang dinyatakan surplus diantaranya Kabupaten Enrekang, namun surplus di Enrekang sangat berpotensi untuk menjadi defisit karena surplusnya dibawah 50% atau hanya 42,72%. Indekspenanamanyanghanya1,054 sertatingkat produktivitas tanaman padi di Enrekang juga dibawah rata-rata produktivitas tanaman padi di Provinsi Sulsel, dan juga yang harus menjadi catatan bahwa 63.76% wilayah Enrekang berada pada kawasan hutan serta 7,38% sudah berupa IUP (lihat Tabel 15 pada bab selanjutnya). 4 Indeks Penanaman (IP) adalah rata-rata masa tanam dalam satu tahun, rumusnya; Luas Tanam dalam satu tahun/Luas Baku Sawah (Data luas baku Sawah berdasarkan penggunaan lahan yang terdapat di RTRW Provinsi Sulteng tahun 2017) Gambar 7. Peta Kerawanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan Jika dilihat dari besaran konsumsi beras, Kota Makassar merupakan daerah dengan kebutuhan beras terbesar mengacu pada jumlah penduduk 1.508.154 jiwa. Pada tahun 2018 kebutuhan konsumsi beras mencapai 172.985,26 ton/tahun, sehingga diperlukan luas panen 62.743,28 ha untuk memproduksi target kebutuhan tersebut. Namun dengan kondisi luas panen 2.844 ha saja, produksi padi setara beras mencapai 7.841 ton. Konsekuensinya, kemampuan memasok kebutuhan beras setiap penduduknya 5,199 kg/ tahun. Berdasarkan data yang diperoleh SLPP Makassar, setiap tahun sawah-sawah yang masih tersisa di Kota Makassar hanya mampu memproduksi beras sekitar 12.490 ton per tahun. Sementara kebutuhan beras warga Kota Makassar mencapai 164.940 ton per tahun. Bila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi beras Provinsi Sulawesi Selatan, maka defisitnya sebesar 95,47%. Maka untuk menutupi selisih kebutuhan beras, harus diperoleh dari berbagai daerah lainnya. Kondisi ini tentu saja membuat harga beras di Kota Makassar mengalami kenaikan.
  • 43. 35 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar Selain Kota Makassar dan Parepare, Kota Palopo merupakan kota yang memiliki luas lahan panen lebih luas atau 45,95% dari luas keseluruhan luas lahan panen untuk wilayah administrasi kota. Walaupun dengan jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan dengan Kota Parepare namun tingkat defisit beras di Kota Palopo sebesar 38,37%, lebih kecil dibandingkan dengan Parepare yang tingkat defisitnya 73,20%. Di Kota Palopo luas lahan sawah hanya 7,23% dari luas wilayah administrasi, dan kondisi ini berbanding terbalik dengan area konsensi di Kota Palopo seluas 43,58%, yang didominasi 95,07% berupa IUP (lihat Tabel 15 pada bab selanjutnya). Dari sisi pasokan, harga gabah di Sulawesi Selatan terbilang rendah. Satu kilogram gabah dijual oleh petani antara Rp3.500 sampai Rp4.000. Kebanyakan pengusaha beras sekaligus pengumpul gabah di Sulsel berada di Kabupaten Bone, Wajo, Sidrap, Pirang dan Parepare. Namun ada juga gabah petani yang dibeli oleh Bulog namun tidak sebesar pengumpul. Setelah semua gabah petani terbeli dan terkumpul di gudang pengumpul, para pengusaha/pedagang kemudian menjual beras tersebut ke berbagai daerah di Sulsel hingga ke berbagai provinsi di Indonesia. Menurut informasi yang kami peroleh, pengusaha beras di Sulsel telah memiliki relasi bisnis dengan pengusaha di daerah lain seperti Ambon dan Surabaya, maupun di provinsi lain sepertidiSulawesiTenggara,KalimantanSelatan, NTT, hingga Papua. Selain itu, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan juga memiliki badan usaha milik daerah atau perusahaan daerah yang bergerak di sektor pangan. Perusahaan daerah ini juga menghimpun dan membeli beras petani di desa-desa di Sulsel. Setelah itu, mereka jual beras-beras tersebut ke Perusahaan Daerah milik pemerintah provinsi lain seperti DKI Jakarta, dan Pemerintah Daerah Sorong Papua. 2. Petani dan Lahan Pertanian Jumlah petani di Sulawesi Selatan sebanyak 1.161.692 orang yang terdiri atas laki-laki 960.774 orang dan perempuan 200.918 orang. Keberadaan petani di Sulawesi Selatan itu menyumbang 3,46% terhadap jumlah petani di Indonesia. Dari sebanyak 1.015.232 RTUP di Sulawesi Selatan, terdapat 596.427 RTUP yang mengusahakan di subsektor tanaman pangan padi, dan sebanyak 288.877 RTUP di subsektor tanaman pangan palawija. Jumlah RTUP yang lain berada di subsektor hortikultura, perkebunan, peternakan (ternak pangan dan ternak non-pangan), perikanan (budidaya ikan dan penangkapan ikan), kehutanan (budidaya tanaman kehutanan dan kehutanan lainnya) dan jasa penunjang pertanian. Dari 1.015.232 RTUP itu pula, terdapat 484.911 RTUP atau 47,76% yang usaha utamanya adalah tanaman pangan padi. Dari usaha utama itu, sebanyak 387.054 RTUP atau 79,81% yang mengandalkan sebagai sumber penghasilan utama dari subsektor tanaman pangan padi, dan selebihnya, sebanyak 97.857 RTUP atau 20,19% yang tidak mengandalkan subsektor tanaman pangan padi sebagai sumber penghasilan utama. Di Sulawesi Selatan pada tahun 2018 terdapat 1.015.232 RTUP, yang pengguna lahan sebanyak Dari sisi pasokan, harga gabah di Sulawesi Selatan terbilang rendah. Satu kilogram gabah dijual oleh petani antara Rp3.500 sampai Rp4.000. Kebanyakan pengusaha beras sekaligus pengumpul gabah di Sulsel berada di Kabupaten Bone, Wajo, Sidrap, Pirang dan Parepare. Namun ada juga gabah petani yang dibeli oleh Bulog namun tidak sebesar pengumpul. “
  • 44. 36 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani 985.088 dan lainnya bukan pengguna lahan. RTUP pengguna lahan tahun 2018 naik 3.67% menjadi 950.241 dari tahun 2013. Peningkatan itu diikuti oleh kenaikan jumlah rumah tangga petani gurem sebesar 7,78 % sehingga dari jumlah 338.108 (2013) naik menjadi 364.426 (2018). Kenaikan jumlah petani gurem ini seringkali diikuti dengan penurunan luas lahan. Pada tahun 2018, luas lahan (pertanian dan non- pertanian) yang dikuasai RTUP rata-rata seluas 23.156,57 m2. Jumlah ini lebih kecil daripada tahun 2013 yang rata-rata seluas 30.980,60 m2 . Untuk lahan pertanian saja, pada tahun 2018 3. Tingkat Kesejahteraan 3.1. Nilai Tukar Petani (NTP) Rata-rata NTP Gabungan (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, pertenakan, perikanan, perikanan tangkap dan perikanan budidaya) di tahun 2018 besarannya 102,96 lebih tinggi 1,43% dibandingkan rata-rata NTP tahun 2017 yang nilai rata-ratanya 100,85. Tingginya nilai NTP gabungan ditopang oleh tingginya 3 (tiga) subsektor peternakan, hortikultura dan perikanan budidaya, sedangkan untuk NTP terendah ada di subsektor perkebunan rakyat yang nilainya 96,16% berikutnya ada di subsektor tanaman pangan nilainya masih dibawah 100, yaitu 99,45%, dimana indeks yang dibayar petani untuk konsumsi rumah tangga serta BBPBM (Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal) yang nilainya 135,74% lebih besar 0,75% jika dibandingkan dengan nilai Indeks yang diterima petani (IT) dari kelompok tanaman padi dan palawija yang nilainya sebesar 134,99%. NTP subsektor tanaman pangan (NTPP) sepanjang tahun 2018 cenderung fluktuatif setiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum NTPP sangat rentan terhadap laju pertumbuhan barang dan jasa di pasaran. Pada semester pertama (Januari-Juni) 2018 rata-rata NTPP 98,95 dengan rata-rata pertumbuhan negatif 0,23. Penurunan signifikan terjadi pada 4 (empat) bulan berturut-turut dari bulan Febuari hingga bulan Mei dari -97%, -0,61%, -0,72%, -0,95%. Tingginya penurunan indeks NTPP pada bulan Febuari diakibatkan oleh turunnya indeks yang diterima petani (IT) -0,22. Penurunan signifikan terjadi pada kelompok tanaman palawija hingga -1.55% dan untuk kelompok tanamanpadihanyanaik0,44%.Sedangkanpada lB (indeks yang dibayar petani) terjadi kenaikan hingga 1,21%, pada kelompok pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga. Pengeluaran terbesar ada pada pengeluaran bahan makanan yang nilainya mencapai 150,16 dan pada kelompok BPPBM (Biaya Produksi dan Penambahan RTUP menguasai rata-rata seluas 20.363,61 m2 (sawah 2.227,00 m2 dan non-sawah 18.136,61 m2 ) sedangkan pada tahun 2013 seluas 30.202,03 m2 (sawah 2.524,13 m2 dan non-sawah 27.677,9 m2 ). Berdasarkan kategori penguasaan lahan pertanian (ha) di Sulawesi Selatan, maka sebarannya sebagai berikut: (1) Luas < 0,50 sebanyak 341.933; (2) Luas 0,50-0,99 sebanyak 234.043; (3) Luas 1,00-1,99 sebanyak 230.101; (4) Luas 2,00-2,99 sebanyak 83.238; (5) Luas 3,00-3,99 sebanyak 31.430; (6) Luas 4,00-4,99 sebanyak 13.760; (7) Luas 5,00-9,99 sebanyak 14.946; dan (8) Luas ≥ 10,00 sebanyak 2.368. Kategori luas < 0,50 ha sebesar 35,92% RTUP dan ≥ 10,00 ha sebanyak 0,25% RTUP. Kenaikan jumlah petani gurem seringkali diikuti dengan penurunan luas lahan. “
  • 45. 37 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar Barang & Modal) pengeluaran terbesar ada pada transportasi yang nilainya 134,58 dan pada semester kedua (Juli-Desember) rata-rata NTPP sebesar 116,48. Apabila dibandingkan dengan semester I, tingkat kesejahteraan petani pada semester I lebih rendah daripada kondisinya di semester ke II. 101.52 101.01 101.33 101.91 103.31 103.14 102.15 101.97 102.08 102.3 103.32 103.31 112.36 112.39 112.68 113.14 114.72 115.02 114.4 114.11 113.77 113.59 114.57 114.56 124 126 128 130 132 134 136 138 140 90 95 100 105 110 115 120 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES Indeks Harga yg Diterima Petani (It) Indeks Harga yg DibayarPetani (Ib) NTP NTUP 100.79 99.82 99.21 98.49 97.54 97.82 97.53 97.97 98.98 100.68 102.31 102.25 109.83 109.21 108.66 107.66 106.76 107.6 107.72 108.17 108.77 110.17 111.94 111.79 126 128 130 132 134 136 138 140 142 90 95 100 105 110 115 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES Indeks Harga yg Diterima Petani (lt) Indeks Harga Yg Dibayar Petani (lb) NTP NTUP Diagram 5. Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani Sulawesi Selatan 2018 Diagram 6 NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan Sulawesi Selatan 2018 Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Sulawesi Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani Provinsi Sulawesi Selatan 2018 Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Sulawesi Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani Provinsi Sulawesi Selatan 2018 Dengan demikian, sebagaimana digambarkan pada Diagram 5 dan 6, sepanjang tahun 2018, petani tanaman pangan di Sulawesi Selatan mengalami tingkat kesejahteraan yang fluktuatif dan diombang-ambingkan oleh harga kebutuhan harian dan modal produksi yang harus dipenuhinya. Salah satu aspek yang menyumbang pada volatilitas pendapatan petani tanaman pangan adalah rantai pasok yang panjang. Dari wawancara dengan petani padi di wilayah yang paling besar memproduksi pangan beras mengenai jalur distribusi pangan di Sulawesi Selatan, hampir semua menjelaskan bahwa hasil produksi petani rata-rata dijual ke pengumpul. Di lain tempat, terkhusus bagi petani sawah tadah hujan, kebanyakan dari mereka tidak menjual hasil panen mereka. Mereka menyimpannya untuk stok pangan keluarga. 3.2. Kemiskinan, Konsumsi dan Kalori Golongan miskin di Sulawesi Selatan pada tahun 2018 berjumlah 792,64 ribu orang (9,06%) dengan garis kemiskinan Rp306.545 (Bln/Kap). Kemiskinan di perkotaan sebesar Rp314.549, sedangkan di perdesaan sebesar Rp299.917. Pekerjaan golongan miskin ini berasal dari tidak bekerja 45,08%, bukan pertanian 20,32% dan pertanian 34,60%. Pengeluaran per kapita sebulan di Sulawesi Selatan rata-rata sebesar Rp1.016.244 yang terbagi dalam makanan (Rp495.465) dan non-makanan (Rp520.779). Berdasarkan daerah kota dan desa, pengeluaran per kapita per bulan lebih tinggi di perkotaan (Rp1.305.899) daripada di perdesaan (809.343). Bila digambarkan dalam persentase pengeluaran untuk makanan dan non makanan, maka di perkotaan sebesar 45,46% makanan dan 54,54% non makanan, dan di perdesaan sebesar 52,55% makanan dan 47,45% non makanan. Pengeluaran di perdesaan rata-rata lebih banyak digunakan untuk makanan sedangkan penggunaan di perkotaan lebih besar untuk non-makanan. Pengeluaran per kapita per bulan untuk pangan beras rata-rata sebesar 7,680 kg yang setara nilai Rp58.780. Di Sulawesi Selatan total pengeluaran beras sebesar 11,8% dari total pengeluaran makanan, dan sebesar 5,7% dari total pengeluaran makanan dan non makanan. Dari konsumsi pangan padi tersebut, rata-rata konsumsi per kapita sehari dari padi-padian sebesar 993,34 kilokalori (kkal). Bila diperinci berdasarkan kelompok padi-padian tersebut, pada tingkat nasional konsumsi kalori per kapita sehari untuk beras sebanyak 800,22 kkal, beras ketan 2,52 kkal, dan padi-padian lainnya 0,91
  • 46. 38 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani kkal. Di Sulawesi Selatan rata-rata konsumsi kalori per kapitaseharisebanyak 2.183,61 kkal. Kalori tersebut tidak hanya berasal dari beras atau padi-padian tapi juga dari jenis pangan lainnya. Tentu saja sumber kalori terbesar masih berasal dari padi-padian (45,49%) termasuk beras dibandingkan dari sumber pangan lainnya. Di Sulawesi Selatan kabupaten dengan tingkat kemiskinan yang menempati 7 teratas sebagai berikut: Jeneponto (15,48%), Pangkep (15,10%), Luwu Utara (13,69%), Toraja Utara (13,37%), Luwu (13,36%), Kepulauan Selayar (13,13%), dan Enrekang (12,49%). Kabupaten/Kota yang mengalami defisit di Sulawesi Selatan meliputi Kepulauan Selayar, Kota Makassar, Kota Parepare, dan Kota Palopo. Sebagai kabupaten yang terhitung rawan pasokan beras, Kepulauan Selayar memiliki angka kemiskinan 13%, dan berada di atas rata-rata provinsi (9,38%). Artinya, ada 13% penduduk di Kepulauan Selayar yang pendapatannya Rp306.545 atau kurang, yang sebagian besar atau semua pendapatannya dihabiskan untuk kebutuhan kalori minimum per hari. Dari persentase penduduk miskin ini, di Kepulauan Selayar 45% tidak bekerja dan 30,50% bekerja di pertanian. Di Kota Makassar dan Kota Parepare kemiskinan sebanyak 4,41% dan 5,59%. Di dua kota tersebut jumlah golongan miskin berdasarkan pekerjaan disumbangkan oleh tidak bekerja (Kota Makassar 52,94% dan Kota Parepare 53,01%) bukan pertanian (Kota Makassar 2,33% dan Kota Parepare 0,28%) dan pertanian (Kota Makassar 44,73% dan Kota Parepare 46,71%). Dengan tingkat kemiskinan demikian, akan semakin rawan kondisi akses terhadap pangan bagi masyarakat miskin di kabupaten/kota karena mereka yang miskin dan tidak bekerjaakanmengarah kepada kondisi kelaparan kronis, jika tidak ditanggulangi. Sementara itu, distribusi pangan ke wilayah kota, seperti Makassar, lebih banyak diperankan oleh pedagang/ pengusaha lokal. Pengusaha tersebut membeli beras di pengumpul yang tersebar di beberapa kabupaten, lalu menjualnya ke pedagang pasar, maupun ke usaha-usaha lain seperti rumah makan dan hotel. Maka sudah dipastikan bahwa harga beras di Kota Makassar naik 25 % dari harga jual di kabupaten. Dengan demikian, berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh SLPP Makassar sejak Maret-Mei 2020, memperlihatkan bahwa lebih dari 60 persen hasil produksi beras Sulsel didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di provinsi lain, baik di Pulau Sulawesi maupun di luar Pulau Sulawesi. Berdasarkan sejumlah informasi tersebut, para pengusaha/pengumpul beras lah yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari produski beras di Sulawesi Selatan. Padahal, di daerah- daerah penghasil beras telah terjadi kenaikan proporsi petani gurem, serta NTP yang sangat fluktuatif sebelum pandemi, yang menandakan bahwa kondisi kesejahteraan petani di Sulawesi Selatan semakin mengarah pada penurunan, meskipun berada di lumbung padi nasional Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh SLPP Makassar sejak Maret-Mei 2020, memperlihatkan bahwa lebih dari 60 persen hasil produksi beras Sulsel didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di provinsi lain, baik di Pulau Sulawesi maupun di luar Pulau Sulawesi. Berdasarkan sejumlah informasi tersebut, para pengusaha/ pengumpul beras lah yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari produksi beras di Sulawesi Selatan. “
  • 47. 39 Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar Proses penjemuran gabah di Desa Simbang Kabupaten Maros. Doc SLPP Makasar Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas Konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
  • 48. 40 Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani Bab Empat Konversi Lahan Pertanian, Tumpang-Tindih Konsesi dan Kerawanan Pangan. D alam perspektif kedaulatan pangan, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi per kapita/tahun secara mandiri baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota, maka target produksi harus tercapai sesuai dengan kebutuhan jumlah konsumsi penduduk. Bahkan jika memungkinkan produksi digenjot melebihi target dan batas kebutuhan konsumsi penduduk dalam kerangka menjaga harga pangan stabil dan pasokan pangan aman dalam periode waktu tertentu. Pencapaian target produksi tersebut harus didukung di antaranya oleh luas lahan sawah yang memadai untuk menghasilkan produksi pangan beras. Bab ini akan memberi gambaran bahwa kondisi lahan sawah di beberapa kabupaten/kota di tiga provinsi menghadapi ancaman baik potensial maupun nyata dalam penyusutan luas lahan sawah. Ancaman itu di antaranya dengan merebaknya sebaran perizinan untuk pertanian non-pangan dan non-pertanian khususnya di lokasi lahan untuk pangan. Kondisi lahan sawah yang tetap dan produksi yang stagnan juga berpotensi menemui ancaman di masa depan dengan peningkatan jumlah penduduk secara eksponensial. Melihat gejala dari kondisi di atas beserta dinamika yang menyertainya, maka kerawanan pangan diprediksi menjadi ancaman baik jangka pendek maupun jangka panjang.
  • 49. 41 Konversi Lahan Pertanian, Tumpang-Tindih Konsesi dan Kerawanan Pangan Provinsi Sumatera Selatan 1. Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras Pada tahun 2015 luas baku sawah di Sumatera Selatan sebesar 774.502 ha (8,88%) yang kemudian menyusut menjadi 470,739 ha (5,40%) pada tahun 2020. Luas penyusutan lahan baku sawah selama 5 tahun mencapai 303.763 ha dengan rata-rata tingkat penyusutan per tahun sebesar 60.753 ha (Tabel 4). Konsekuensi dari penyusutan lahan seluas 303.763 ha tersebut terdapat kehilangan 769.178,32 ton beras dengan produktivitas 5,174 ton/ha atau rata- rata kehilangan 208.678,70 ton beras per tahun selama lima tahun (2015-2020) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5. Luas lahan baku sawah terluas terletak di Banyuasin (29,25% pada 2015 dan 35,81% pada 2020 dari total luas baku sawah) disusul OKI (24,02% di tahun 2015 dan 21,38% di tahun 2020) dengan rata-rata penyusutan masing-masing kabupaten itu seluas 11.589 ha/tahun dan 17.071 ha/tahun. Luas baku sawah terkecil terletak di Prabumulih (0,09% tahun 2015 dan 0,01% tahun 2020) disusul Lubuk Linggau (0,24% tahun 2015 dan 0,26% tahun 2020) dengan rata-rata penyusutan masing-masing 127 ha/tahun dan 135 ha/tahun. Dari segi proporsi luas baku sawah terhadap luas administrasi kabupaten/kota, maka diperoleh luas baku sawah terluas terdapat di Ogan Komering Ilir atau OKI (28,26%) dan Ogan Komering Ulu Timur atau OKU Timur (25,09%) pada 2015. Pada 2020 terdapat sedikit perubahan, luas baku sawah terluas di OKU Timur (16,95%) dan Banyuasin (15,19%). Ogan Komering Ilir mengalami penyusutan rata-rata sebesar 7,467 ha/tahun, dan OKU Timur sebesar 5,555 ha/tahun selama lima tahun. Penyusutan sawah yang lebih tinggi di OKI dibandingkan OKU Timur kemungkinan menjadi penyebab bergesernya peringkat tertinggi luas baku sawah Sumsel dari OKI ke OKU Timur. Luas baku sawah tersempit atas luas administrasi terdapat di Musi Rawas Utara dan Prabumulih dengan perbedaan tingkat pada tahun yang berbeda, secara berurutan 1,22% dan 1,72% di tahun 2015 dan 0,38% dan 0,16% tahun 2020. Rata-rata penyusutan selama lima tahun di Musi Rawas 977 ha/tahun dan Prabumulih 127 ha/tahun. Bila diurutkan berdasarkan persentase luas baku sawah terluas terhadap luas administrasi kabupaten tahun 2020, maka diperoleh enam kabupaten, yaitu: Prabumulih (0,16%), Musi Rawas Utara (0,38), OKU (1,08%), OKU Selatan (1,65%), Musi Rawas (2,08%), dan PALI (2,35%). Kondisi lahan sawah di beberapa kabupaten/kota di tiga provinsi menghadapi ancaman baik potensial maupun nyata dalam penyusutan luas lahan sawah. Ancaman itu di antaranya dengan merebaknya sebaran perizinan untuk pertanian non-pangan dan non-pertanian khususnya di lokasi lahan untuk pangan. Kondisi lahan sawah yang tetap dan produksi yang stagnan juga berpotensi menemui ancaman di masa depan dengan peningkatan jumlah penduduk secara eksponensia “